BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Berbicara mengenai filsafat memang tidak ada
habis-habisnya. Filsafat memang membingunkan dan sedikit sulit untuk dipahami,
Namun dengan filsafat itu maka kita akan dapat mengetahui esensi suatu hal.
Sampai sekarang filsafat menjadi kajian wajib dalam berbagai ajang pendidikan.
Dan salah satu tokoh filsafat yang terkenal adalah ibnu sina, ia adalah seorang
dokter, ulama’, psikolog, seniman, dan juga politis
Ibnu Sina juga seorang filosof muslim yang berani melawan kekangan filsafat Yunani, bahkan buah pemikirannya ini pun juga dikonsumsi oleh para pelajar barat. Lalu seperti apakah filsafatnya Ibnu Sina itu? Berikut saya akan mencoba menyajikan makalah yang ‘sedikit’ membahas mengenai filsafat Ibnu Sina.
2. Masalah
a) Seperti
apa biografi Ibnu Sina?
b) Bagaimana
pemikiran filsafat Ibnu Sina?
c) Karya-karya
apa saja yang pernah dibuat Ibnu Sina?
3. Tujuan
a) Mengetahui
biografi Ibnu Sina
b) Mengetahui
pemikiran filsafat Ibnu Sina
c) Mengetahui
karya-karya Ibnu Sina
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Biografi
Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn
Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat
Bukhara. Ayahnya berasal dari Kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa
Raja Nuh ibnu Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan,
satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini ayahnya menikah Sattarah dan
dikaruniai tiga orang anak; Ali, Husein (Ibnu Sina), dan Muhammad. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah
kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam.[1]
Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari
ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya.[2]
Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu
logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu
agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni
dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani
yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari
filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini
menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku
menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40
an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu
kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua
persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia
mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas
dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.
Dalam bidang materia
medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh -
tumbuhan banayak membantu terhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang
selaput otak (miningitis).
Ibnu Sina pula sebagai orang
pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun
kemudian disempurnakan oleh William Harvey.
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam
para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan
genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan
satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman
sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan
menyatakan dalam Regacy of Islam-nya
Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat
memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan
sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan
digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah
Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain
membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan
keterangan yang luas.[3]
Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan -
karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika
ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.[4]
Ibnu
Sina juga dikenal produktif dalam berkarya. Karya – karya Ibnu Sina yang
ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan
Al-Isyarat wat-Tanbihat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa.
Al-Isyarat wat-Tanbihat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf.
Selain dari itu, karyanya yang paling masyhur adalah Al-Qanun (di
barat terkenal dengan sebutan Canon of Medicine) yang merupakan
ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini. Selain itu, masih banyak
lagi karangan-karangan lain di bidang filsafat, etika, logika, dan psikologi.[5]
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena
(Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui
kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the
Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais. Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam
keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras itu boleh,
selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum – minuman keras dilarang karena
bisa menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak
demikian malah menajamkan pikiran.[6]
Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas
kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia
mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037
M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.
2. Pemikiran
Filsafat Ibnu Sina
1) Filsafat Jiwa
Ibnu Sina memberikan
perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat
kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal - soal kejiwaan ataupun buku
- buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat. Memang tidak sukar
untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan,
seperti pikiran - piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-
pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal
ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau
pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun
segi pembahasan metafisika.[7]
Pengaruh Ibnu
Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab
sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada
Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot. Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke
sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan.
Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan
kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya
Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki
disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian
merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain
dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain
itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya,
yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah
gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa
kepada paham wahdat al-wujud
(kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya
bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud
bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid
pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain
dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi
ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih
dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak
dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun
dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang
banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi.
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui
emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi
ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan
prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya
Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa
ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang
dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan
ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang
menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua
sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence.
Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai
wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai
wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai
mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain
dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit
yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul
dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir
didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik,
dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai
daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan
wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk
membuktikan adanya jiwa yaitu :[8]
a.
Dalil
alam - kejiwaan (natural psikologi).
Pada diri kita ada peristiwa
yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa
– peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).
b.
Dalil
Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan
tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan
ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur,
maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat
kita dan seluruh pribadi kita
c.
Dalil
kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang
berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada
hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus
oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi
beberapa tahun yang telah lewat.
Ibnu Sina dengan
dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling
khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan
telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi
oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh – tokoh pikir masa sekarang.
d.
Dalil
orang terbang atau orang tergantung di udara
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang
paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan
atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk
memberikan keyakinan.
Dalil tersebut
mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang
penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat
melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di
udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan
atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur
sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu.
2)
Filsafat
Wujud.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang
mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri.
Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di
luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai
kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu
wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu
Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi
dari filosof - filosof lain.[9]
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat
mempunyai kombinasi berikut :
a)
Essensi
yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud.
b) Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula
tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula
tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian
ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c) Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud.
Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama
dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian
berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi
essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini
disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan
mumkin al wujud
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh
oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim
(al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan -
pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap
orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana
Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan
Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah
pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain.[10]
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara
pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para
mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang
Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina
dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat
disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
a. Perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu
perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu.
Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan)
itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain
(wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib
dengan-Nya.
b. Perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan -
akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina
sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada
tujuan sama sekali.
c. Manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak
mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”,
seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas. Ibnu
Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia
menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut.
d. Perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk
tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama,
seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya).[11]
3.
Karya
Ibnu Sina
Karya-karya
Ibnu Sina, yaitu:[12]
a) As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of
Remedy =
Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).
Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama
Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah
selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis
pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya
terbagi atas 4 bagian, yaitu :
·
Logika
·
Fisika
·
Matematika
·
Metafisika
b) Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
c) Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan
buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain
(Belgia).
d) Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
e) Al-Musiqa. Buku tentang musik.
f) Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
g) Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh.
Buku filsafat.
h) Danesh Nameh. Buku filsafat.
i)
Uyun-ul
Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
j)
Mujiz,
kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu
logika secara lengkap.
k) Dll.
l)
Hikmah
el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915
menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
BAB III
PENUTUP
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu
Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu
tempat dekat Bukhara. Ayahnya berasal dari Kota Balakh kemudian pindah ke
Bukhara pada masa Raja Nuh ibnu Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa
di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara.
Pemikiran Filsafat Ibnu Sina dibagi
menjadi dua yaitu Filsafat jiwa dan filsifat wujud.
Karya-Karya Ibnu
Sina antara lain: As-
Syifa’, Nafat, Qanun, Sadidiya, Al-Musiqa, Al-Mantiq, Qamus el
Arabi, Danesh Nameh, Uyun-ul
Hikmah, Mujiz, Hikmah el Masyriqiyyin,dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Dr. Harun Nasution, 1996, Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya,Jakarta Penerbit Universitas Indonesia.
Ahmad
Daudy, 1986 MA, Kuliah Filsafat Islam,
Jakarta,Bulan Bintang.
Ahmad
Hanafi, 1996, MA, Pengantar Filsafat
Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Oemar
Amin Hoesin, 1975, Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Ahmad
Daudy, 1984 Segi - Segi Pemikiran Falsafi
dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Thawil
akhyar Dasoeki, 1993, Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama Semarang.
[1]
Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta
: Penerbit Universitas Indonesia), 1996, hal. 50
[2] . Ahmad Daudy, MA, Kuliah Filsafat
Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1986, hal. 60
[3]
Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta :
Bulan Bintang), 1996, hal. 115, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
[4]
Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang), 1975, hal. 112 - 113
[5]
Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta :
Bulan Bintang), 1996, hal. 115, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
[6]
Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta :
Bulan Bintang), 1996, hal. 115,
[7]
Harun Nasution, Falsafat … Opcit., hal 34-35
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar …, Opcit., hal. 126
[9]
Harun Nasution, falsafat …, Opcit., hal. 39-40
[10] Ahmad Daudy, Segi - Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bula
Bintang), 1984, hal. 42
[11] Ahmad Daudy, Segi - Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang), 1984, hal 44-46
[12]
Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,
(Semarang : Dina Utama Semarang), 1993, hal. 37 - 39
Terimakasih Gan, artikelnya sangat bermanfaat...
ReplyDelete