Makalah Lembaga Keuangan dalam Persperktif Al-Quran klasik dan modern


LEMBAGA KEUANGAN DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
KLASIK DAN MODERN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Manajemen Bank Syariah
Dosen Pengampu : Enny Puji Lestari, M.E.Sy 

lembaga keuangan dalam perspektif Al-Quran klasik dan modern


Disusun oleh :  KELOMPOK 2
Nama   : Ayu Pratiwi                            1172204
              Dwi Lestari                            1172634
              Fitri Astuti                             1172914
              Muklis Saputra
                       1173584                     
               Dwi Wahyudi                       1172664
               Syahroni                               1174304
Prodi    : Ekonomi Islam
Kelas   : F
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  JURAI SIWO
METRO
TAHUN 2012/2013


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Lembaga Keuangan dalam persepaktif Al-Quran, pada masa klasik dan modern”. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.



Metro,4 April 2013




Penyusun





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR...............................................................................................            ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 1
A.      Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B.       Masalah ..................................................................................................             1
C.       Tujuan................................................................................................................. 1
BAB II P EMBAHASAN ..........................................................................................             2
A.            Konsep Lembaga keuangan dalam Al-Quran...........................................            2
B.            Lembaga keuangan pada masa Rasulullah........................................................... 5
a.    Baitul Maal................................................................................ ........... 7
b.    Wilayah Al-Hisbah.................................................................... ........... 8
c.    Pembagunan Etika Bisnis...........................................................            8
C.            Lembaga keuangan pada masa khulafaur rasyidin................................... ........... 9         
D.            Lembaga keuangan pada masa dinasti.....................................................            10
E.             Lembaga keuangan syariah modern......................................................... ........... 11
 BAB III  KESIMPULAN..........................................................................................           14              
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN
1.             Latar Belakang

Banyaknya lembaga keuangan syariah saat ini, baik bank maupun non-bank, menimbulkan suatu pertanyaan, apakah lembaga keuangan tersebut telah ada konsepnya di dalam Al-Quran? Dan bagaimana pandangan Al-Quran itu sendiri terhadap fenomena lemabaga keuangan syari’ah.
Karena keberadaan Al-Quran sangat identik dengan Nabi Muhammad SAW. maka perlu ditelusuri apakah sudah ada lembaga keuangan pada masa Rasulullah SAW? Hal ini membutuhkan pengkajian lebih dalam agar diketahui hukum dari pengelolaan lembaga keuangan syari’ah pada saat ini. Karena setelah Rasulullah SAW wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh beberapa Kholifah, yang tidak lain adalah sahabat-sahabat Rasul sendiri, maka juga perlu ditelusuri tentang keberadaan lembaga keuangan syariah pada saat itu dan juga perlu pengkajian pada masa setelah khulafaur rasyidin, yaitu masa kejayaan Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah, agar lebih diketahui lagi bagaimana perkembangan lembaga keuangan yang mengiringi perkembangan agama Islam. Dan perlu juga dikaji perkembagan lembaga keuangan syariah pada saat ini, dan bagaimana awal mula berdirinya.

2.             Rumusan Masalah

a.              Seperti apa konsep lemabaga keuangan dalam Al-Quran
b.             Bagaimana Lembaga keuangan pada masa Rasulullah
c.              Bagaimana Lembaga keuangan pada masa khulafaur rasyidin
d.             Bagaimana Lembaga keuangan pada masa dinasti
e.              Bagaimana Lembaga keuangan syariah modern
3.             Tujuan
a.              Mengetahui konsep lembaga keuangan dalam Al-Quran
b.             Mengetahui lembaga keuangan pada masa Rasulullah
c.              Mengetahui lembaga keuangan pada masa khulafaur rasyidin
d.             Mengetahui lembaga keuangan pada masa dinasti
e.              Mengetahui lembaga keuangan syariah modern


4.              
BAB  II
PEMBAHASAN

1.             Konsep lembaga keuangan dalam Al-Quran

Al-Qur’an tidak menyebut konsep lembaga keuangan secara eksplisit. Namun penekanan tentang konsep organisasi sebagaimana organisasi keuangan telah terdapat dalam al-Qur’an. Konsep dasar kerjasama muamalah dengan berbagai cabang-cabang kegiatannya mendapat perhatian yang cukup banyak dari al-Qur’an. Dalam sistem politik misalnya dijumpai istilah qaum untuk menunjukkan adanya kelompok sosial yang berinteraksi dengan yang lain. Juga terdapat istilah balad (negeri) untuk menunjukkan adanya struktur sosial masyarakat dan juga muluk (pemerintahan) untuk menunjukkan pentingnya sebuah pengaturan hubungan antar anggota masyarakat. Khalifah (kepemimpinan), juga menjadi perhatian dalam al-Qur’an. Konsep sistem organisasi tersebut, juga dijumpai dalam organisasi modern.

Khusus tentang urusan ekonomi, al-Qur’an memberikan aturan-aturan dasar, agar transaksi ekonomi tidak sampai melanggar norma/ etika. Lebih jauh dari itu, transaksi ekonomi dan keuangan lebih berorientasi pada keadilan dan kemakmuran umat. Istilah suq (pasar) misalnya menunjukkan tentang betapa aspek pasar (market), harus menjadi fokus bisnis yang penting. Organisasi keuangan dikenal dengan istilah Amil. Badan ini tidak saja berfungsi untuk urusan zakat semata, tetapi memiliki peran yang lebih luas dalam pembangunan ekonomi. Pembagian ghonimah, misalnya menunjukkan adanya mekanisme distribusi yang merata dan adil[1]. Anjuran untuk berlaku adil terdapat adalah al-Quran surah an-Nahl ayat 90.

Artinya Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[2]

Dapat kita ketahui dari ayat di atas bahwa terdapat aturan-aturan bagi manusia dalam beraktifitas, yaitu harus berlaku adil dan melakukan kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan juga terdapat larangan agar tidak berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan.  Hal ini tentu saja untuk kebaikan manusai itu sendiri, karena dengan adanya aturan tersebut, maka aktifitas manusia akan berjalan dengan baik. Allah juga menganjurakan kepada kita, untuk menegakkan kebenaran karena Allah, serta menjadi saksi yang adil karena adil adalah bentuk dari ketakwaan. Seperti hal nya yang tercantum dalam Q.S Al-Maidah ayat 8.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[3]

Berdasarkan ayat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam suatu lembaga keuangan, tentu saja konsep keadilan sangat diperlukan. Dalam menjalankan aktifitasnya, suatu lembaga keuangan tidak boleh melakukan kedzaliman yang akan merugikan pihak lain. Juga harus memperhatikan kemaslahatan bersama. Tidak boleh membeda-bedakan antar orang satu dengan orang yang lain karena adanya kepentingan. Pihak-pihak yang menjadi saksi dalam satu transaksi di dalam suatu lembaga keuangan, maka mereka harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya akan jalannya transaksi. Seorang saksi tidak boleh memberikan kesaksian palsu, karena kesaksiaan palsu sangatlah dibenci Allah SWT, dan juga merugikan pihak lain.

Sebagai lembaga dengan struktur organisasi yang jelas, Islam juga menekankan pentingnya akhlak/etika. Merujuk pada ciri-ciri organisasi modern seperti; transparansi dan akuntabilitas, keterbukaan, egalitarianisme, profesionalisme dan pertanggungjawaban, juga mendapat perhatian yang serius. Al-Qur’an telah sejak lama memberikan aturan dan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan bagi pembentukan organisasi modern.[4]

Prinsip akuntabilitas dan transparansi memberikan arahan bahwa lembaga bisnis harus dapat menunjukkan prinsip keterbukaan dan bebas dari manipulasi. Konsep pencatatan (akuntansi dalam istilah ekonomi modern) baik laporan keuangan (laba-rugi dan perubahan modal dan administrasi bisnis yang lain) secara jelas diatur dalam Al-Qur’an. Sebagaimana ditegaskan dalam Surat Al Baqarah ayat 282.

Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai, dalam wau yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis (akuntan), menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis, enggan menuliskannya, sebagaimana Allah telah mengajarkannya (profesional)… (QS. Al Baqarah: 282).

Dilihat dari beberapa ciri tersebut, jelaslah bahwa Islam menekankan pentingnya pengaturan bisnis secara benar. Untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, jalan mengorganisasi diri dalam sebuah wadah menjadi tuntutan. Lembaga bisnis dalam Islam sesungguhnya bukan saja berfungsi sebagai pengumpul modal dan mengakumulasi laba, tetapi juga berperan dalam pembentukan sistem ekonomi yang lebih adil dan terbebas dari perilaku ekonomi yang zalim. Penjelasan ini dapat kita jumpai dalam Surat Ali Imran ayat 104.[5]
Artinya: “Dan hendaklah kamu adakan sekelompok orang (lembaga bisnis), yang berfungsi untuk mengajak kepada kebaikan, mengajak berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang- orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104).

Mengajak kepada kebajikan dapat berarti menuju pada peningkatan kehidupan dan kesejahteraan ekonomi. Berbuat baik dan mencegah kemungkaran berarti juga menciptakan iklim dan sistem bisnis yang Islami jauh dari sistem yang anarkis dan eksploitatif.

2.             Lembaga Keuangan pada zaman Rasulullah

Didalam sejarah umat islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syaria’ah telah menjadi bagian tradisi umat islam. Sejak zaman Rasullah SAW. praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Dengan demikian, fungsi utama perbankan modern,  yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat islam, bahkan sejak zaman Rasulullah SAW. Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan al-Amin dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali Bin Abi Thalib r.a. untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya,. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan.

Seorang sahabat Rasulullah SAW. , Zubair bin al-Awwanm r.a. memilih tidak menerima titipan harta, ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempunyai hak untuk memanfaatkannya ; kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh. Dalam riwayat yang lain disebutkan, Ibnu Abbas r.a. juga pernah melakukan pengiriman uang dari Makkah ke adiknya Mis ‘ab bin Zubair r.a. yang tinggal di Irak.[6]

Di zaman Rasullah SAW.  Juga terdapat lembaga keuangan dan juga lembaga yang mengurusi kepentingan masyarakat, yaitu Baitul Maal dan Wilayatul Hisbah.

a.       Baitul maal

Lembaga Baitul Maal (rumah dana), merupakan lembaga bisnis dan sosial yang pertama dibangun oleh nabi. Lembaga ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan. Apa yang dilaksanakan oleh rasul merupakan proses penerimaan pendapatan ( revenue collection ) dan pembelanjaan ( expenditure ) secara transparan dan bertujuan seperti apa yang disebut sekarang sebagai welfare oriented.[7] Ini merupakan sesuatu yang baru, mengingat pajak-pajak dan pungutan dari masyarakat yang lain dikumpulkan oleh penguasa dan hanya untuk para raja. Para penguasa di sekitar Jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia menarik upeti dari rakyat dan dibagi untuk para raja dan kepentingan kerajaan. Sedangkan mekanisme Baitul Maal, tidak saja untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga untuk melindungi kepentingan kafir dhimmi.

Para ahli ekonomi Islam dan sarjana ekonomi Islam sendiri memiliki perbedaan dalam menafsirkan Baitul Maal ini. Sebagian berpendapat, bahwa Baitul Maal itu semacam bank sentral, seperti yang ada saat ini. Tentunya dengan berbagai kesederhanaannya karena keterbatasan yang ada. Sebagian lagi berpendapat, bahwa baitul maal itu semacam menteri keuangan atau bendahara negara. Hal ini mengingat fungsinya untuk menyeimbangakn antara pendapatan dan pembelanjaan negara. Namun kehadiran lembaga ini membawa pembaruan yang besar. Dana-dana umat, baik yang bersumber dari dana sosial dan tidak wajib seperti sedekah, denda ( dam ), dan juga dana-dana yang wajib seperti zakat, jizyah dll, dikumpulkan melalui lembaga Baitul Maal dan disalurkan untuk kepentingan umat[8].
Arahan-arahan dari nabi Muhammad SAW mengenai pemungutan dan pendistribusian kekayaan negara memberikan bentuk kesucian pada Baitul Maal. Lembaga ini sampai diidentifikasi sebagai lembaga trust (kepercayaan) umat Islam dengan khalifah sebagai trustee. Ia bertanggung jawab atas setiap sen uang yang terkumpul dan pendistribusiannya. Bagaimanapun dengan terjadi degenerasi di kalangan umat Islam konsep ini menjadi kabur dan oleh penguasa yang korup, menjadikan Baitul Maal untuk kepentingan pribadi mereka.

b.             Wilayatul Hisbah

Wilayatul Hizbah merupakan lembaga pengontrol pemerintahan. Pada masa nabi fungsi lembaga kontrol ini dipegang langsung oleh beliau. Konsep lembaga kontrol ini merupakan fenomena baru bagi masyarakat Arab, mengingat waktu itu, kerajaan hampir sama sekali tida ada lembaga kontrolnya. Rasulullah berperan langsung sebagai penyeimbang kegiatan muamalat, baik ekonomi, politik maupun sosial. Rasulullah selalu menegur bahkan melarang langsung praktik bisnis yang merusak harga dan menzalimi. Pelarangan riba, monopol, serta menimbun barang dan sejenisnya menjadi bukti nyata bahwa terdapat lembaga pengontrol aktifitas bisnis.

Keberadaan lembaga ini menjadi sangat strategis dan penting, mengingat kepentingan umat yang lebih besar. Diriwayatkan Rasulullah pernah menegur seseorang yang menjual kurmanya dengan harga yang berbeda di pasar. Beliau juga menolak permintaan sahabatnya untuk menentukan harga yang layak bagi kaum muslimin karena harga-harga yang ada dipasar terlalu tinggi. Diriwayatkan dari Anas bahwa ia berkata; “Harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah SAW. Para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, tentukan harga untuk kita. Beliau menjawab, “Allah itu sesungguhnya penentu harga, penahan dan pencurah serta pemberi rizki. Aku mengaharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” (H.R. Tirmidzi)

c.       Pembagunan etika bisnis

Menurut kami dalam melakukan pembangunan etika bisnis Rasullullah SAW terdapat nilai-nilai dan prinsip-prinsip bisnis yang luhur, karena dalam hal melakukan kegiatan  bisnisnya Rasullullah selalu berpegangan teguh dengan Al-Quran Di samping itu adalah kelebihan Muhammad SAW untuk mempraktekkan dan memberikan contoh penerapan etika bisnis di dunia usaha yang riel dan berwawasan global (pada jamannya) jauh sebaelum Ia mengajarkan prinsip dan etika bisnis kepada umatnya setelah menjadi Rasul kelak.
Diriwayatkan oleh Abdurazak dalam Sirah Ibn Hisham bahwa Muhammad SAW pernah bersabda : ” para pengusaha yang jujur (dan memjunjung tinggi etika bisnis) kelak akan bersama para nabi, syuhada dan shalihin di syurga”. Dapat dimengerti betapa besarnya pahala yang dijanjikan oleh Allah SAW untuk para pengusaha yang jujur. Karena memang hanya dengan jujurnya para pengusaha dan bersihnya para birokrat dunia usaha akan maju dan berkembang dengan baik. Sebaliknya seandainya kedua aktor utama dunia usaha ini dalam hubungannya banyak diwarnai dengan kolusi, korupsi dan manipulasi atau kesalahan prosedur yang disengaja maka itulah pertanda dari tidak sehatnya dunia usaha. Dimana pada gilirannya nanti akan mengakibatkan tidak transparannya dunia usaha, ekonomi biaya tinggi, kebocoran uang negara dalam jumlah yang sangat besar serta terpusatnya asset nasional hanya pada segelintir pengusaha atau pejabat.

Dalam surat Al A’raf (7): 96 ditegaskan “jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri (penguasa, rakyat dan pengusahanya) beriman dan bertaqwa pastilah kami (Allah) akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu (dengan tidak mengindahkan norma dan etika) maka kami siksa mereka atas perbuatannya”. Demikian juga Allah SAW menyerukan dalam surah Hud (11) : 85 ” Hai kaumku cukupkanlah takaran dan timbangan dengan Qisth (sepenuh dan seakurat mungkin) janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”.[9]






3.             Lembaga keuangan pada masa Khulafaur Rasyidin

Sepeninggal Rosulullah, tradisi yang sudah dibangun oleh Nabi diteruskan para pemimpin setelahnya. Oleh Abu bakar kebiasaan memungut zakat sebagai bagian dari ajaran Islam dan menjadi sumber keuangan negara terus ditingkatan. Bahkan sempat terjadi peperangan antara sahabat yang taat kepada kepemimpinan beliau melawan orang-orang yang membangkang atas perintah zakat. [10]Bahkan terjadi peperangan antara sahabat yang taat kepada kepemimpinan beliau melawan orang-orang yang membangkang. Abu Bakar sebagai yang pertama akan memerangi kaum riddah, yakni kelompok yang membangkang terhadap perintah membayar zakat dan mengaku sebagai nabi, sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar atau gugur di jalan Allah sebagai shuhada. Tindakan khalifah ini didukung oleh hampir seluruh kaum muslimin. Untuk
memerangi kemurtadan ( riddah ) ini maka dibentuklah sebelas pasukan.

Lembaga Baitul Maal semakin mapan keberadaannya semasa khalifar kedua, Umar bin Khattab. Khalifah meningkatkan basis pengumpulan dana zakat serta sumber-sumber penerimaan lainnya. Sistem administrasinya sudah mulai dilakukan penerbitan. Umar memiliki kepedulian yang tinggi atas kemakmuran rakyatnya. Dikisahkan bahwa beliau mendatangi lansung rakyatnya yang masih miskin, serta membawakan langsung makanan untuk rakyatnya. Ucapan beliau yang sangat terkenal, “Jika ada keledai yang terperosok di Iraq, ia akan ditanya Tuhan mengapa ia tidak meratakan jalannya”.

Pada masa Umar pula mulai dilakukan penertiban gaji dan pajak tanah. Terkait dengan masalah pajak, Umar membagi warga negara menjadi dua bagian. Bagian pertama warga negara muslim dan bagian kedua warga non muslim yang damai ( dhimmi ). Bagi warga negara muslim, mereka diwajibkan membayar zakat sedangkan yang dhimmi diwajibkan membayar kharaj dan jizyah. Bagi muslim diperlakukan hukum Islam dan bagi dhimmi diperlakukan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku. Agar situasi tetap terkendali, Umar menetapkan wilayah jazirah Arab untuk muslim, dan wilayah luar jazirah Arab untuk non muslim. Sedangkan untuk mencapai kemakmuran yang merata, wilayah Syiria yang padat penduduknya dinyatakan tertutup untuk pendatang baru. Untuk mengelola keuangan negara, khalifah mendirikan Baitul Maal. Pada masa Umar pula mata uang sudah mulai dibuat. Umar sering berjalan sendiri untuk mengontrol mekanisme pasar. Apakah telah terjadi kezalimaan yang merugikan rakyat dan konsumen. Khalifah memberlakuakan kuota perdagangan kepada para pedagangan dari Romawi dan Persia karena kedua negara tersebut memperlakuakan hal yang sama kepada para pedagang madinah. Kebijakan ini sama dengan sistem perdagangan intenasional  modern yang dikenal dengan principle of reciprocity . Umar juga menetapakan kebijakan fiskal yang sangat popular tetapi mendapat keritikan dari kalangan sahabat ialah menetapkan tanah takluakan Iraq bukan untuk tentara kaum muslimin sebagaimana biasanya tentang ghanimah, tetapi dikembalikan kepada pemiliknya. Khalifah kemudian menetapkan kebijakan kharaj (pajak bumi) kepada penduduk Iraq tersebut.  Semua kebijakan khalifah Umar Bin Khattab ditindak lanjuti oleh khalifah selanjutnya, yakini Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Tholib . yang menarik untuk diperhatikan ialah bahwa lembaga keuangan baitul maal  telah berfungsi sangat strategis baik masa rasulullah maupun khulafa’ al-rashidin. Melalui baitul maal ini, para pemimpin Islam sangat serius mampu mengentaskan kemiskinanummat dan membangun sistem moneter Islami. Kesejahetraan rakyat menjadi fokus utama dalam pembangunan ekonomi.[11]

4.             Lembaga keuangan pada masa Dinasti

Ketika Ali bin Abi Thalib wafat dan diganti oleh Mu’awiyah, lalu diteruskan oleh anaknya, Yazid maka lembaga syuro lembaga syuro dalam politik pemerintahan Islam telah bergeser menjadi dinasti/kerajaan. Meskipun berubah, tetapi fungsi Baitul Maal tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kecuali bahwa mulai terjadi disfungsi pada pengeluaran-pengeluaran disebabkan tingkat ketaatan agama mulai menurun. Hanya satu khalifah pada dinasti ini yang dikagumi karena keadilan dan keshalehannya, yaitu Umar bin Abdul Aziz, walaupun masa pemerintahannya sukup singkat yaitu 2,5 tahun, namun ia mampu mendistribusikan pendapatan sedemikian rupa sehingga dapat mensejahterakan rakyatnya, sehingga pada masa itu susah mencari orang yang menerima zakat. Dinasti Umayah di Damaskus berakhir dengan naiknya dinasti Abasiyah, sepanjang pemerintahannya terjadi perubahan pola ekonomi, sehingga disalah satu khalifahnya menciptakan standar uang bagi kaum muslimin dikarenakan ada kecenderungan orang menurunkan nilai uang emas dan perak, serta mencampurkan dengan logam yang lebih rendah. Pada zaman keemasan dinasti ini fungsi Baitul Maal telah merambah kepada pengeluaran untuk riset ilmiah dan penerjemahanbuku-buku Yunani, selain untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai.
Dinasti Abasiyah pudar berganti dengan Turki Saljuq di Asia Tenggara, Sasanid di Cordova dan Fathimiyah di Mesir dan berakhir Turki Usmani di Istambul. Selama itu fungsi Baitul Maal berkembang menjadi perbendaharaan negara dan pengatur kebijakan fiskal dan moneter. Runtuhnya Dinasti Usmaniyah di Turki menandakan menangnya kolonialisme di negeri-negeri Islam, baik secara fisik dan pemikiran. Karena itu meskipun kemudian negeri-negeri Islam merdeka dari penjajahan, namun Baitul Maal tidak pernah muncul lagi.[12]

5.             Lembaga keuangan syariah modern

Bagaimanapun penjajahan di negara-negara Islam telah berhasil mengubah sistem pemerintahan, politik dan ekonomi. Meskipun sudah banyak negara Islam yang berhasil merdeka, namun sisa-sisa penjajahan masih sangat terlihat dalam sistem ekonomi dan sosial. Mereka dapat merdeka secara politik namun mungkin tidak secara ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Para pemimpin negara-negara Islam pasca kolonialisme umumnya mereka yang telah mengenyam pendidikan dari penjajahnya. Paham sekularisme yang menjadi doktrin kaum penjajah, secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir dan bahkan akidahnya. Sehingga sistem pemerintahannya masih menjiplak sistem pemerintahan kaum penjajah. Bahkan nama Baitul Maal- pun sudah tersingkir dari kosa kata pemerintahan mereka. Sistem ekonomi umumnya tidak bisa terlepas dari sistem politik. Warisan kaum penjajah telah membentuk watak negara Islam menjadi individualis dan sekuler. Warisan ekonomi sebagai akibat penjajahan, membawa masalah baru yang akan terus terjadi seperti pengangguran, inflasi terpisahnya agama dan ekonomi serta politik. Berbagai warisan tersebut ternyata tidak mampu membawa negara berhasil dalam pembangunan ekonomi. Akhirnya negara Islam mencoba mencari terobosan baru untuk keluar dari masalah ekonomi.  Yang lebih menarik upaya mencari solusi tersebut dikaitkan dan dikembalikan kepada ideologi. Konsep kembali ke ideologi ini berangkat dari kesadaran para pemimpin negara Islam, bahwa sistem ekonomi kaum penjajah tidak dapat mengatasi masalah.

Dalam bidang keuangan misalnya, ditemukan terminologi baru. Jika sistem bunga yang ribawi telah dikenalkan oleh kaum penjajah seiring dengan menghilangnya Baitul Maal dalam khazanah kenegaraan, maka kesadaran ini telah mengerahkan sistem keuangan yang bebas riba. Gerakan lembaga keuangan yang bebas riba dengan sistem modern yang pertama kali terdapat di desa Mith Gramer, tepi sungai Nil di Mesir. Didirikan pada tahun 1969 oleh DR. Abdul Hamid al-Naghar. Bank ini semula hanya menerima simpanan lokal. Bank ini tidak beroperasi dalam waktu lama. Karena masalah manajemen yang melilitnya, maka bank ini terpaksa ditutup. Bagaimanapun juga, bank dengan sistem bagi hasil ini telah mencatatkan sejarah yang berharga dalam khazanah ekonomi dan keuangan Islam. Kelahiran bank ini telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam yang pertama pada tahun 1975 di Mekah. Dua tahun kemudian lahir Bank
Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB). Kelahiran IDB merupakan hasil serangkaian kajian yang mendalam dari pakar ekonomi dan keuangan juga para ahli hukum Islam. Negara yang tergabung dalan Organisasi Konferensi Islam (OKI) menjadi motor berdirinya IDB. Mesirlah yang pertama kali mengusulkan pendiriannya.

Pada sidang Menteri Luar Negeri negara anggota OKI di Karachi Pakistan tahun 1970, Mesir mengusulkan perlunya mendirikan Bank Islam Dunia. Usulan tersebut ditulis dalam bentuk proposal yang berisi tentang studi pendirian Bank Islam Internasional untuk perdagangan dan pembangunan senta pendirian Federasi Bank Islam.Hasil kajian dari proposal tersebut ditindaklanjuti pada sidang Menteri Luar Negeri negara OKI pada tahun 1973 di Benghazi Libya. Dalam sidang ini, terjadi kesepakatan tentang pentingnya OKI memiliki bidang khusus yang menangani masalah ekonomi dan keuangan. Pada tahun yang sama, komite ahli wakil dari negara-negara penghasil minyak bertemu kembali untuk membicarakan secara lebih rinci rencana pendirian Bank Islam. Namun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya baru selesai dibicarakan pada pertemuan lanjutan kedua tahun 1974.

Pada sidang Menteri Luar Negeri negara-negara anggota OKI pada tahun 1975 di Jeddah telah menyetujui pendirian Bank Islam Internasional dengan nama Islamic Bank Development (IBD) dan resmi berdiri pada tanggal 20 Oktober 1975. Modal disetor awalnya 2 milyar dinar, yang berasal dari semua anggota OKI. Pada awal tahun berdirinya, IDB masih banyak mengalami kendala karena faktor politik. Namun demikian, IDB juga mengalami perkembangan keanggotaannya, yakni dari 22 negara menjadi 44 negara. IDB telah berhasil memberikan pinjaman bebas bunga kepada para anggotanya terutama untuk pembangunan infrastruktur sebanding dengan partisipasi modalnya. Pada tahap awal model pembiayaannya masih menggunkan sistem ijarah dan murabahah. Tujuan utama IDB adalah untuk memupuk dan meningkatkan perkembangan ekonomi dan sosial negara-negara anggota dan masyarakat muslim secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan prinsip syariat Islam. Fungsi utama bank ini berperan serta dalam modal usaha dan bantuan cuma-cuma untuk proyek produksi dan perusahaan di samping memberikan bantuan keuangan bagi negara-negara anggota dalam bentuk lain untuk perkembangan ekonomi dan sosial.[13]




Menurut penulis perbankan syariah merupakan suatu kebutuhan masyarakat. Di mana keberadaannya diharapkan dapat menghilangkan sistem riba yang terdapat dalam bank-bank konvensional dan dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi yang ada saat ini. Walaupun bank syariah masih dipertanyakan kesyariahannya, namun seiring berjalannya waktu, bank syariah mulai memiliki tempat di hati masyarakat. Yang tentunya merupakan peluang bagi bankir-bankir Islam untuk mengembangkan produk-produk bank syariah, dan pastinya juga diikuti pemurnian kesyariahan produk-produknya agar tidak mengecewakan nasabahnya.

a.             Bentuk Lembaga keuangan syariah modern
Apabila diperhatikan teks hukum yang ada dalam ketentuan syari’at Islam, akan ditemukan beberapa lembaga dan instrumen keuangan yang secara garis besar dapat dikelompokkan kedalam 2 kgiatan yaitu kegiatan nin bank dan bank.[14]
a)       Kegiatan Nonbank
                                                                   i.              Lembaga  zakat
Berdasarkan Undang-undang  No. 38 Tahun 1999, bahwa oragnisasi yang berhak mengelola zakat terbagi menjadi 2 bagian, yakni orgaanisasi yang tumbuh atas prakarsa masyarakat dan disebut juga Lembaga Amil Zakat (LAZ) serta organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah dan disebut Badan Amil Zakat (BAZ). Kedua bentuk organisasi ini memiliki kesamaan tujuan, yakni bertujuan mengelola dana zakat dan sumber-sumber dana sosial yang lain secara maksimal untuk keperluan umat. Misi mulia yang diemban ini jangan sampai berbenturan dalam pelaksanaan programnya. Masyarkat harus didoraong supaya membentuk lembaga amil sebanyak-banyaknya[15]
                                                                 ii.               Ijarah (prinsip sewa).[16]
                                                               iii.              Kafalah/zaman (uang jaminan atau garansi).
                                                               iv.               Rahn (Penggadaian).
                                                                 v.               Wada (Simpanan/deposit)
                                                               vi.              Pinjaman
                                                             vii.              Salam
                                                           viii.              Istishna’
                                                               ix.              Syirkah
                                                                 x.              Akad
                                                               xi.              Waris
                                                             xii.               Qirad
                                                           xiii.              Al-muzara’ah
                                                           xiv.               Al-musaqah
b)              Lembaga dan Instrumen Keuangan Bank (Perbankan)
Dalam ketentuan syariat Islam yang termasuk dalam kategori nonbank di antaranya:
                                                     i.                   Baitul Mal Wattamwil (BMT)
                                                   ii.                   BMT sebagai lembaga keuangan yang ditumbuhkan dari peran masyarakat secara luas, tidak ada batasan ekonomi, sosial, bahkan agama. Semua komponen masyarakat dapat berperan aktif dalam membangun sebuah sitem keuangan yang lebih adil dan yang lebih penting mampu menjangkau lapisan pengusaha yang terkecil sekalipun. BMT tidak digerakkan dengan laba semata, tetapi juga motif sosial. Karena beroperasi dengan pola syaria’ah, sudah barang tentu kontrolnya tidak saja dari aspek ekonomi saja atau kontrol dari luar, tetapi agama atau akidah menjadi faktor pengontrol dari dalam yang lebih dominan.[17]
                                                 iii.                   Al-wadia’ah (Pinjaman)
                                                 iv.                   Al-mudharabah
                                                   v.                   Musyarakah
                                                 vi.                    Al-Bai’u Bithaman Ajil (BBA)
                                               vii.                   Murabahah
                                             viii.                    Bank Perkreditan Rakyat syariah (BPR Syariah)
                                                 ix.                   Bank Syariah
                                                   x.                    Asuransi Takaful
                                                 xi.                   Koperasi


BAB III
KESIMPULAN

Dalam lembaga keuangan, Al-Qur’an memberikan aturan-aturan dasar, agar transaksi ekonomi dalam lembaga keuangan tersebut tidak sampai melanggar norma/ etika. Lebih jauh dari itu, transaksi ekonomi dan keuangan lebih berorientasi pada keadilan dan kemakmuran umat. Pada zaman Rasullah SAW kegiatan praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan. Lembaga keuangan yang ada pada masa Rasulullah yaitu Baitul maal dan wilayatul hisbah. Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat menjunjung nilai-nilai Al-Quran dalam menjalankan bisnisnya (aktivitas perniagaan) . Kemudiaan ketika Rasulullah wafat, lembaga keuangan yang diteruskan pada zaman Khulafaur Rasyidin. Dalam prakteknya masih tetapi seperti tradisi yang Rasulullah lakukan, tetapi pada zaman ini,ada perkembangannya. Selanjutnya setelah zaman Khulafaur Rasyidin berakhir dilanjutkan pada zaman Dinasti, yaitu Dinasti Umayah dan Dinasti Abasiyah. Pada zaman Dinasti ini fungsi lembaga keuangan hampir sama dengan zaman-zaman sebelumnya, tetapi pada zaman ini ada perubahan pola ekonomi. Setelah peradaban Dinasti berakhir maka berlanjut pada masa modern, Lembaga keuangan modern ini mengarah kepada sistem keuangan yang bebas riba, daimana pada zamannya kaum penjajah telah mengenalkan sisitem ribawi karenan hal ini seiring dengan menghilangnya Baitul Maal dalam khazanah kenegaraan.




DAFTAR PUSTAKA

Muhammad.  2003. Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarka: UPP AMP YKPNIr.
Adiwarman A. Karim . 2010. Bank Islam . Jakarta : Raja Grafindo.
Nouruzzaman Shiddiqi. 1986. Tamadun Muslim, Jakarta: Bulan Bintang,
M. Abdul Manan. 1993. Islamic Economic Theory and Practice.Terjemahan M. Nastangin, Yogyakarka: Dana Bakti Wakaf.
Surawardi K. Lubis, 2000, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta, Sinar Grafika.
Muhammad Ridwan, 2004, Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil, UII Pres, Jogjakarta.
Siti Maryam dkk, 2002, Sejarah Peradaban Islam, Jogjakarta, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga dan LESFI,



[1] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah (Yogyakarka: UPP AMP YKPN, 2003) hal 53
[2] Q.S. An-Nahl: 90
[3] Q.S. Al-Maidah: 8
[4] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil, (UII Pres, Jogjakarta: 2004), hal: 55.
[5] ibid
[6] Ir. Adiwarman A. Karim, Bank Islam ( Jakarta : Raja Grafindo, 2010) hal  18-19
[7] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah ( Yogyakarka: UPP AMP YKPN, 2003) hal 23. 
[8] Muhammad, Manajemen Bank .... hal 66 
[10] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, Jogjakarta, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga dan LESFI, 2002, hal: 56.
[11] Nouruzzaman Shiddiqi, Tamadun Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal 121. 
[12] Nouruzzamaan Shiddiqi,.. hal 122
[13] M. Abdul Manan, Islamic Economic Theory and Practice, Terjemahan M. Nastangin (Yogyakarka: Dana Bakti Wakaf, 1993)hal. 191
[14] Surawardi K. Lubis. Hukum Ekonomi Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2000). Hal: 33.
[15] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil, (UII Pres, Jogjakarta: 2004), hal: 206.
[16] Adiwarman A. Karim. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Hal:137.
[17] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil, (UII Pres, Jogjakarta: 2004), hal: 73

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berikan komentar atas tulisan yang sudah anda baca.
Semoga memberikan manfaat dan mendapat ilmu dari tulisan yang telah anda baca. Dan semoga memberikan inspirasi tenhadap semua. Aamiin
Terimakasih telah mengunjungi blog saya
Salam sahabat dari saya :)

dwi lestari