MAKALAH FIQH MAWARIS UNSUR DAN SYARAT KEWARISAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk ciptaan yang Allah yang sempurna yang didunia ini mempunyai tujuan untuk beribadah kepada Allah, selain itu juga manusia melakukan kegitan muamalah,kehidupan social, dan saling ketergantunga. Dalam hidupnya manusia dilahirkan kemudian tumbuh menjadi manusia yang mempunyai kelebihan masing-masing, menikah,mempunyai keturunan, dan pada akhirnya bertemu dengan kematian, dan setelah kematian akan timbul masalah-masalah mengenai harta sepeninggalnya, yaitu kaitannya dengan waris. Siapa yang akan menerima atau mengambil alih harta tersbut.

Waris erat kaitnaya dengan ruang lingkup kehidupana manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa kematian dan mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban yang berkaitan dengan peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia. Dalam keKemudian dalam makalah ini,   kami akan membahas mengenari unsur-unsur dan syarat kewarisan. Unsur-unsur kewarisan didalamnya terdapat penjelasan mengenai Maurus,Muwaris dan Waris. Selanjutnya pada syarat kewarisan ini menganai hal-hal yang menjadi syarat kewarisan yang akan kami paparkan dalam makalah ini.             

B.            Rumusan Masalah
1.      Sebutkan Unsur-Unsur Kewarisan ?
2.      Apa Pengertian Maurus ?
3.      Apa Pengertian Muwaris
4.       Apa Pengertian Waris?
5.      Sebutkan dan Jelaskan Syarat Kewarisan?

C.            Tujuan
1.      Mengetahui Unsur-Unsur Kewarisan
2.      Mengetahui pengertian Maurus ?
3.      Mengetahui pengertian Muwaris ?
4.      Mengetahui pengertian Waris
5.      Mampu menyebutkan dan menjelaskan Syarat Kewarisan



BAB II
PEMBAHASAN
A.           Unsur –Unsur Kewarisan

Ada tiga unsut yang perlu diperhatikan dalam waris – mewarisi, tiap-tiap unsure tersebut harus memenuhi syarat berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh dinamakan rukun dan persyaratanya itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun.Rukun merpakan bagian dari permasalaha yang menjadi pembahasan. Pembahasan ini tidak sempurna, jika salah satu rukun tidak ada misalnya wali dalam salah satu rukun perkawinan, Apakah perkawinan dilangsungkan tanpa wali. Perkawinan menjadi kurang sempurna, bahkan menurut pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i perkawinan itu tidak sah.[1]

Adapaun syaratnya adalah  sesuatu yang beradi di luar substansi dari permasalah yang dibahas, tetapi harus dipenuhi, seperti suci dari hadas merupakan syarat sahnya shalat. Walaupun bersuci itu kegiatan diluar shalat, tetapi harus dikerjakan oleh orang-orang yang  akan shalat, karena jika dia shalat tanpa bersuci shalatnya tidak sah. Sehubung pembahasan hokum waris, yang menjadi rukun waris mewarisi ada 3 (tiga) yaitu sebagai berikut :

1.      Orang yang meninggalkan harata Waris (Muwarris)

Muwarris adalah orang yang mewariskan hartanya [2]orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Di dalam kamus Indonesia disebut dengan istilah “pewaris sedangkan dalam kitab fiqh disebut Muwarris. Bagi Muwarris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya dengan sempurna dan ia benar-benar telah meninggal duni, baik menurut kenyataan maupun menurut hokum. Kematian Muwarris menurut para ulama Fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni :

a.       Mati haqiqy (sejati)

Adalah hilangnya nyawa sesorang yang semula nyawa iatu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian[3]. Sebagai akibatdari kematian seluru harta yang ditingalkan setelah dikurangi untuk memenuhi hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalanya,  beralih dengan sendirinya kepada ahli waris yang masih hidup  di saat kematian muwarrist, dengan syarat tidak terddapat  salah satu halangan mempusakai.[4]  

b.      Mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim)

Adalah  suatu kematian  disebabkan oleh adanya vonis hakim, baik pada hakekatnya, seseorang benar-benar masih hidup, namun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang yang telah divonis mati, padahal ia benar-benar masih hidup. Vonis ini dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri dan bergabung dengan musuh.




c.       Mati taqdiry ( menurut dugaan)

Adalah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian seseorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata  berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu


2.      Harta Peninggalan (Maurus)

Adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan dipusakakan atau dibagi  oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang, dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan dalam kitab fiqih  biasa disebut tirkah, yaitu apa-apa yang ditingalkan oleh orang yang meningal dunia, berupa harta secara mutlak. Jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa tirkah ialah segala apa yang menjadi milik seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang diwariskan oleh ahli warisnya setelah ia meningal dunia. Jadi disamping harta benda juga hak-hak, termasuk hak kebendaan maupun bukan kebendaan yang dapat berpindah kepada ahli warisnya. Seperti hak menarik hasil sumber air, piutang, benda-benda yang digadaikan oleh si mayit, barang-barang yang dibeli oleh si mayit sewaktu masih hidup yang dijadikan maskawin untuk istrerinya yang belum diserahkan sampai ia meningal, dan lain-lain.[5]

Maurus merupakan harta peninggalan si mayit setalah dikurangi biaya perawatan jenazah,  pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hal tersebut adalah :
a.       Kebendaan yang sifatnya mempunyai nilai kebedaan.
Misalnya benda –benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mayit, diyat wajibah (benda wajib) yang dibayarakan kepadanya.
b.      Hak-hak kebendaan
Seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi, dan lain sebagainya.
c.       Benda-benda yang bukan kebendaan
Seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya.
d.      Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti  benda yang sedang digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mayit sewaktu masih hidup yang sudah dibayat tetepi barang belum diterima.

Di Indonesia struktur masyarakatnya berbeda dengan masyarakat Arab, dimana kitab-kitab Fiqh  disusun berdasarkan ijtihad ulama pada waktu menyusunya dengan memahami kandungan syariat,  tentu memungkinkan adanya perbedaan dalam menentukan harta peninggalan (tirah ) ini.
 Di dalam beberapa literature yang berkaitan dengan masalah kewarisan tidak pernah disingung tentang harta mana saja yang termasuk harta waris  dan harta isteri yang akan dibagi-bagi oleh ahli warisnya jika ia meninggal dunia. Karena dalam penerapannya dimasyarakat Indonesia , sering menimbulkan kesan bahwa semua harta adalah milik suami dengan alasan, yaitu bertanggung jawab dalam rumah tangga adalah adalah suami maka harta adalah milik suami, dengan dasar Surah An-Nisa ayat 34




Artinya :
Laki-laki  bertanggung jawab atas perempuan oleh karena Allah melebihkan sebagian mereka  (laki-laki) atas sebagian yang lain ( wanita) dank arena merka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka

Pada umunya di Indonesia  rumah tangga (keluarga) memiliki 4 (empat) macam harta yaitu sebagai berikut :
a.       Harta yang diperoleh sebelum perkawinan
b.      Harta yang diperoleh saat mereka menikah
c.       Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung
d.      Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama atau usaha salah seroang disebut harta pencarian.

3.      Ahli Waris (  Waarits )

Waarits  adalah orang yang akan mewariskan harta peninggalan si Muwarrits lantara mempunyai sebab-sebab  untuk mewarisi. Pengertian ahli waris disini adalah orang yang mendapatkan harta waris, Karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun tidak semua keluarga  dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian pula orang yang berhak menerima (mendapatakan) harta waris mungkin saja di luar ahli waris.  
Dalam Al- Quran Surat An-Nisa Ayat 8 , Allah berfirman :




Artinya :
Dan apabila sewaktu pemabagian itu hadir beberapa kerabat anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah merka dari harta itu (sekadarnya) dan ucpakan kepada merka perkataan yang baik.

B.            Syarat Kewarisan

Waris mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkanya (ahli waris). Oleh karena itu, waris mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni meninggalnya Muwarrits (Orang yang mewariskan).[6] Menurut hokum islam masalah waris akan terjadi adapabila dipenuhinya syarat-syarat kewarisan. Adapun Syarat-Syarat Kewarisan Meliputi :

1.      Meninggalnya muwarrits(orang yang mewariskan)

Kematian Seseorang muwarrits itu menurut ulam dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :

a.       Mati haqiqi (Mati sejati)
Hilangnya nyawa seseorang yang  semula nyawa itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksisakan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

b.      Mati hukmy ( mati menurut putusan hakim)
Suatu kematian   disebabkan adanya putusan hokum, baik pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih hidup maupun dalam kemungkianan antara hidup dan mati. Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka terhadap orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.

c.       Mati taqdiry ( mati menurut dugaan )
Suatu kematian yang bukan haqiqi, hukmy atauupun taqdiry berhak mewarisi harta penginggalnya. Maksudnya adalah orang yang dinyatakana mati berdasakan dugaan yang kuat semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketemukan jasadnya, maka orang tersebut berdaksan dugaan dinyatakan telah mati, [7]

Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hokum, dan dugaan adalah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari merka atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaanya. Sebagai contoh orang hilang yang keadaanya tidak diketahui lagi secara pasti sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal. Hal ini harus diketahui secara pasti bagaimananpun keadaanya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapaun kecuali setelah ia meninggal.

2.      Hidupnya waris / Adanya ahli waris yang masih hidup

Hidupnya Waarits (orang yang mewarisi)  di saat  kematian Muwarrits   Para Ahli waris yang benar-benar masih hidup di saat kematian Muwarrits,baik matinya secara haqiqi, hukumy, ataupun taqdiryy berhak mewarisii harat peninggalya. Dalam hal ini para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta penginggalan. Pemindahan hak kemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup , sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. Sebagai contoh jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi menginggal dalam satu peristiwa atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal makan diatara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang meraka miliki ketika masih hidup. Hal seperti itu oleh  kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama mengingal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam.

Adapun masalah-masalah yang muncul berkaitan dengn syarat hidupnya ahli waris adalah mengenai mafqud, anak dalam kandungan, dan keadaan mati secara bersama. Masalah mafqud terjadi dalam hal keberadaan seseorang waris tidak diketahui secacra pasti apakah masih hidup atau sudah mati kerika muwarrist meninggal dunia. Jika terjadi kasus seperti ini maka pemabgaian waris dilakukan  dengan cara memandang si mafqud tersbut masih hidup. Hal ini dilakukan untuk menjada hak si mafqud  jika ternyata dia masih hidup.  Bila di kemudian hari sebelum habisa waktu maksimal untuk menggung ternyata si mafqud datang  atau hadir dalam keadaan hidup maka bagian waris yang telah disedikan   untuk si mafqud  tersebut di berikan kepadanya. Jika dalam tenggang waktu yang telah ditentukan ternyata tidak dating sehingga dia dapat diduga telah mati, maka bagiannya tersebut di bagai diantara para ahli waris lainya sesuai dengan perbandingan furudh mereka masing-masing.

Masalah anak dalam kadungan terjadi dalam hal ini istri muwarrits dalam keadaan mengandung ketika muwaritts meninggal dunia. Dalam kasusu seperti ini maka penetapan keberadaa anak tersebut dilakukan pada saat elahitan anak tersebut. Oleh sebab itu maka pemmbagian waris dapat di tangguhkan samapi anak tersbut dilahirkan. Masalah  mati secara bersamaan, hal ini terjadi jika dua orang atau lebih yang saling mewarisi mati secara bersama. Misalnya seorang bapak dan anaknya tenggelam atau terbakar bersama sehingga tidak diktahui secara pasti siapa yang meninggal terlebih dahlu  dalam kasus ini mereka tidak boleh saling mewarisi  dan salah seorang dari merka tidak boleh memiliki tirkah yang lainya. Maka yang berhak mendmiliki tirkah  tersebut adalah ahli waris masing-masing yang masih hidup . hal ini sesuai dengan isyarat fuqaha bahwa : tidak saling waris antara dua orang yang mati tenggelam atau terbakar atau sama sama  tertimpa reruntuhan. Demikianlah ketentuan dari hokum Isla,=m.


3.      Tidak adanya penhalang-penghalang mewarisi

Meskipun dua syarat waris telah ada pada Muwarrists dan Warits, Namun salah seorang dari mereka tidak dapat mewarisi harta peninggalanya kepada  yang lain atau mewariskan harta peninggalnya kepada yang lain, selama masih  terdapat salah satu dari empat pengahalang mewarisi, yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama (kafir) dan perbedaan Negara. Tidak adanya penghalang mewarisi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang menjadi penghalang kewarisan.



BAB III
PENUTUP


Unsur-unsur dalam  kewarisan Islam ada 3 diantara lain Muwarris yaitu Orang yang meninggalkan harata Waris, kematian tersebut bisa didasarkan pada kematian hakiki, hukmy, atau taqdiri. Maurus yaitu Harta Peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya.Waarits yaitu Orang yang menerima warisan atau disebut ahli waris,  dalam hal ini ahli waris yang masih hidpulah yang berhak mendapatakan warisan.
Syarat kewarisan yaitu meninggalnya muwarris yang dimaksud dengan meninggalnya muwarris baik secara hakiki, hokum, dan dugaan adalah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari merka atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaanya . kemudian syarat kewarisan selanjutnya adalah hidupnya waris atau adanya ahli waris yang dalam keadaan hidup ketika muwarris meningal dunia. Dan syarat kewarisan yang terkahir yaitu tidak adanya penhalang-penghalang mewarisi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang menjadi penghalang kewarisan.





[1] Moh. Muhibbin,  Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.56
[2] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ( Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 1998) h.22

[3] Facthur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT. Al-Maarif:1975)hal. 79
[4] Moh. Muhibbin, Op.cit., h.60

[5] Moh. Muhibbin, Op.cit., h.57
[6] Moh. Muhibbin, Op.cit., h.62


0 comments:

Post a Comment

Silahkan berikan komentar atas tulisan yang sudah anda baca.
Semoga memberikan manfaat dan mendapat ilmu dari tulisan yang telah anda baca. Dan semoga memberikan inspirasi tenhadap semua. Aamiin
Terimakasih telah mengunjungi blog saya
Salam sahabat dari saya :)

dwi lestari