Makalah manajeman risiko, Bank Islam sebagai penghubung risiko



BAB I
PEMBAHASAN

1.             Karakteristik Pendanaan Bank Islam

Dalam dunia perbankan, bank memiliki fungsi utama yaitu Mendhimpun dana masayarakat( to receive deposits), memeberiakan kredit  (to make loans).[1]Metode penghimpunan dana yang ada pada Bank-Bank Konvensional didasari teori yang diungkapkan Keynes yang menemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan yaitu fungsi transaksi,  cadangan, dan investasi. Oleh karena itu, produk penghimun dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi yaitu gitro, tabungan, dan depostito. [2]Apa pun bentuknya, semua produk tersebut hanya menggunakan satu akad, yakni utang plus bungga. Lazimnya utang, bank konvensional dapat menggunakan dana tersebut untuk apa saja tentnu dalam koridor yang diperbolehkan. Meskipun sama-sama menggunakan bentuk giro, tabungan, dan deposito, namun konsekuensi terhadap biaya danan dan cakupan peruntukan dana tersebut sangat berbeda dalam praktik bank Islam. Dimana keduannya ditentukan oleh bentuk akad yang digunakan dalam mengumpulkan dana. [3]


Berbeda dengan hal tersebut, bank Islam tida melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya, Sebagai salah satu lembaga yang berfungsi untuk menghimpun dana masyarakat, bank Islam harus memiliki sumber dana yang optimal sebelum disalurkan kembali ke masyarakat. Disamping itu  sebagai bank Islam yang dituntut untuk mempraktikan kadiah syariat Islam, maka perlu dipahami-terlebih dahulu dana masyarakat dan transaksi-trannsakasi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. [4]

Secara umum, ada tiga bentuk akad yang dapat digunakan dalam mengumpulakan dana yakni:

a)             Titipan (wadhiah yad amanah)

Karena sifatnya hanya titipan, konsekuensinya adalah bank tidak boleh memanfaatkan dana titipan tersebut untuk mendapatkan keuntungan, terkecuali telah mendapat izin dari si pemilik dana. Jika pemilik dana mengizinkan bank Islam menggunkan dana tersebut, secara otomatis, bentuk akad ini akan berubah menjadi utang. Setelahnya, bank maupun nasabah harus konsisten pada bentuk akad utang ini. Selain itu sebagai dana amanah, bank juga berkewajiban menggembalikan dana titipan tersebut sesuai dengan jumlah yang dititipkan ketika diambil nasabah.[5] Salah satu prinsip bank syariah dalam menghimpun dana yaitu dengan titipan, Dalam berntuk wadihiah yad amanah ini Harta atau benda yang dititipkan tida boleh mengambil manfaat, kecuali nasabah telah mengizinkan. Kemudian bank dalam hal ini berfungsi  sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang atau harta yang dititipakan tersebut oleh nasabah. Kemudian bank Islam sebagai penerima titipan, diperkenankan untuk membebankan biaya (fee) kepada yang menitipkan atau nasabah tersebut.




b)             Utang (Wadhiah yad dhamanah)

Bank boleh memanfaatkan dana untuk mendapatkan keuntungan. Karena diperlakukan  sebagai utang, ketika pemanfaatan dana tersebut menghasilkan kerugian, bank tetap wajib mengembalikan dana sejumlah yang ditabung. Namun kedua bentuk akad ini, yakni titipan dan utang, tidak memberikan konsekuensi adanya biaya dana yang ditanggung oleh bank Islam.[6] Jadi bank Islam boleh memanfaatkan harta atau titipa yang telah dititipakan nasabah ke bank Islam.  Dan ketika ada hasil dari pemanfaatan titipan tersbut maka hasil tersebut menjadi  hak dari penyimpan atau nasabah. Dan tidak ada kewajiban dari penyimpan untuk memberikan hasil tersebut kepada penitip sebagai pemilik benda. Dalam hal ini perlu ditekanakan bahwa bank tidak memperjanjikan hasil dari benda titipan yang dimanfaatan tersebut kepada nasabah. Pemberian hasil hanya sebagai bonus dari kebijakan bank dan tidak ditentukan atau disebutkan dalam akad.[7]

c)             Syirkah (Lazimnya berupa mudharabah)

Karena bersifat investasi, bank Islam seharusnya menyalurkan kepada pembiayaan atau investasi yang dapat mendatangkan keuntungan berbentuk pendapatan tetap (quasi-fixed income), seperti murabahah, salam, istishna, dan ijarah, maupun berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, musaqat, dan muzara’ah. Terkait jatuh tempo DPK, untuk produk deposito dengan akad mudharabah mutlaqah ada sekitar tujuh macam waktu jatuh tempo, yakni 1,2,3,6,9,12,18, dan 24 bulan. Untuk produk giro dan tabungan, jatuh temponya lebih bervariasi. Untuk produk tabungan berencana jatuh temponya akan  lebih panjang dibandingkan dengan produk giro dan produk tabungan biasa yang transaksinya bias harian.

Pada dasarnya DPK yang bisa dimanfaatkan oleh bank untuk disalurkan kembali hanyalah sebatas saldo yang tidak diambil oleh nasabah, kecuali tutup buku. Makin lama DPK megendap, bank akan lebih leluasa dalam menentukan ke mana dana akan diinvestasikan.[8]  Tujuan Mudharabah ini yaitu terjalin kerjasa antara pemililik dana (shahibul maal) yaitu nasabah, dan pengelola dana (mudharib) dalam hal ini adalah bank Islam. Pemilik dana sebgai deposan di bank Islam berperan sebagai investor murni yang menanggung aspek sharing risk dan return dari bank. Dengan demikian deposan bukanlah lender atau  kreditor bagi bank seperti halnya pada bank konvensional.

Jadi dapat dikatakan bahwa hubungan antara bank Islam dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shohibul maal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu tingkat laba bank syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi hasil yang dapat diberikan kepada nasabah kepada penyimpan dana. Dengan demikian kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuan mengsilkan laba



Dari ketiga bentuk akad yang dapat digunakan dalam mengumpulakan dana yakni Titipan (wadhiah yad amanah), Utang (Wadhiah yad dhamanah), Syirkah (Lazimnya berupa mudharabah).[9] Bank dalam menjalankan akad tersebut tidak lepas adanya risiko yang akan diamalami ketiga kegitananya berlangsung. Misalnya pada akad Titipan (washiah yad amanh) ketika nasabah menitipkan harta atau dana kepada bank syariah, bank berkewajiban untuk menjaga amanah atas apa yang telah diberikan kepada nasabah, sehingga ketika harta atau dana yang dititipkan ini akan diambil, maka bank syariah wajib mengembalikan dana titipan tersebut sesuai dengan jumlah yang dititipkan ketika diambil nasabah. Pada akad titipan ini bank syariah tidak diperebolehkan mengambil manfaat atas titipan tersebut.
Selanjutnya pada akad yang digunakan dalam mengumpulkan dana yaitu utang (wadhiah yad dhammanah), pada akad ini ketika dana yang disalurakan dari bank ke nasabah mitra mengalami kerugian maka bank syariah tetap mengembalikan dana sejumlah yang ditabung oleh nasabah penabung. Jadi dalam hal ini bank syariah harus berhati-hati dalam mengelola dana tersebut yang kemudian akan disalurkan kepada nasabah mitra. [10]
Akad mengumpulkan dana yang terakhir yaitu akad Syirkah, dalam akad syirkah ini biasanya adalah mudharabah, tetapi ada juga misalnya murabahah, salam, istishna, dan ijarah, musyarakah, musaqat, dan muzara’ah. Akad syirkah ini DPK yang bisa dimanfaatkan oleh bank untuk disalurkan kembali hanyalah sebatas saldo yang tidak diambil oleh nasabah, kecuali tutup buku. Makin lama DPK megendap, bank akan lebih leluasa dalam menentukan ke mana dana akan diinvestasikan oleh bank syariah kepada nasabah.

2.             Menggeser DPK ke bentuk Syirkah, Perlukan?

Melihat karakteristiknya, menggeser struktur DPK dari bentuk utang berbunga (seperti pada bank konvensional) menjadi bentuk dana syirkah akan memberikan banyak manfaat. Yaitu :[11]

a)             Termin jatuh tempo dan syirkah pada DPK bank saat ini bersifat tetap. Dimana, merupakan hasil modifikasi deposito menggunakan akad mudharabah. Nasabah tidak diperbolehkan mengambil dana, kecuali telah jatuh tempo. Jika inovasi ini dilanjutkan dengan menambah filtur lain, yakni tujuan peruntukan dana, maka akan terciptalah deposito berbentuk sukuk yang sangat bervariasi dengan super ritel. Sukuk adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah. Sukuk mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

b)             Dapat diasumsikan bahwa alasan nasabah menaruh dana dengan akad syirkah adalah untuk menginvestasikan dananya. Dalam syirkah, nasabah tidak akan menerima pendapatan (bunga) tetap, sebagaimana di bank konvensional, melainkan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati. Penggunaan dana syirkah ini otomatis akan mengurangi, bahkan menghilangkan, tingkat resiko utang bank Islam. Selain berimplikasi terhadap rendahnya atau hilangnya biaya dana beruapa bunga (jika ada), risiko likuiditas bank juga akan terduksi. Mengigat pada komposisi DPK, komponen bunga telah bergeser ke skema bagi hasil, tidak ada lagi bunga tetap yang dibayaran oleh bank Islam kepada nasabahnya. Karena tidak perlu membayar bunga, bank Islam akan mendapatkan risiko keuangan lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional.
Manfaat lain dari turunnya atau hilangnya biaya bunga ini, akan menurunkan tingakat variasi laba neto bank Islam. Hasilnya, risiko profitabilitas bank Islam yang  diukur dengan standar deviasi dari laba operasi akan menurun secara kontinu seiring dengan meningkatkannya komposisi dana syirkah dalam struktur DPK bank.[12]
3.             Sumber Risiko Alamiah Bank Islam

Dalam menjalankan fungsi pengumpulan dana masyarakat yang dilakukan oleh bank Islam, muncul faktor-faktor risiko yang berasal dari penggelompokan dana pihak ktiga (DPK).  Kenyataanya, bank mendapatkan DPK yang sifatnya jangka pendek untuk mendanai pembiayaan kepada debitur yang jatuh temponya lebih panjang. Sudah dapat dipastikan bahwa akan timbul risiko likuiditas apabila bank tidak memperhitungkan dual hal, yakni jenis peruntukkan dana dan waktu jatuh tempo.[13] Jadi dua hal ini yaitu peruntukkan dana dan waktu jatuh tempo adalah faktor akan timbulnya risiko likuiditas jika tidak diperhitungkan secara benar.

Faktor risiko yang kedua bersumber dari kemampuan bank Islam dalam menghasilkan laba, Idelanya, operasi bank Islam seharusnya berpihak dan terkait langsung dengan aktivitas di sector riil. Bentuk nyata keperpihakan bank Islam pada sector riil adalah penerapan akad syirkah dalam menyalurkan dana. Melalui bentuk syirkah, debitur tidak akan terbebani suatu biaya tetap atas dana yang diperoleh dari bank. Sebaliknya bank tidak boleh mengklim tetap dari usaha debitur. Imbal hasil yang diperoleh murni berdasarkan realisasi hasil usaha. Satu-satunya yang boleh ditetapkan di awal kontrak hanyalah tingkat nisbah, bukan imbal hasilnya. Ketika bisnis debitur sedang dalam kondisi terbaik, bank Islam dapat mengklaim imbal hasil jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat suku bunga pinjaman di pasar konvensional. Sistem syirkah ini selain lebih berpihak pada sector riil, juga dapat menghilangkan gharar dalam akad pembiayaan dan sekaligus memenuhi unsure keadilan. 

Dalam system syirkah, bank Islam seharusnya beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil. Bank Islam mengumpulkan dana dari nasabah dan menyalurkan sebagai modal badi para debitur dengan prinsip bagi hasil. Laba yang diperoleh bank Islam dari debitur dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama antara bangk dan nasabah. Karena skema bunga pinjaman diganti dengan prinsip bagi hasil, ketika laba debitur berubah-ubah, maka risiko penerimaan bagi hasil laba dari portofolio pembiayaan juga akan meningkat.

Risiko pembiayaan pada akad bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah, adalah tidak terbayarnya imbal hasil sebagaimana yang diharapkan dan, bahkan, tidak kembalinya dana yang diberikan bank kepada debitur pada saat kontrak jatuh tempo. Risiko ini muncul dengan banyak sebab, seperti ketidakmampuan debitur dalam menghasilkan laba usaha, gejolak ekonomi yang mengakibatkan bisnis surut, dan moral hazard debitur. Praktiknya, sebaik apa pun mekanisme pengawasan dan pendampingan yang dilakukan bank, selalu muncul kesenjangan informasi antara bank dan debitur. Kondisi ini berpotensi menimbulkan moral hazard debitur, dimana mereka memanipulasi laporan keuangan agar tidak membagikan keuntungan kepada bank. Selain itu, buruknya kinerja debitur pun mungkin disebabkan oleh sumber-sumber sistematis eksternal, seperti inflansi, tingkat pengangguran, kenaikan harga BBM, dan sebagainya. Oleh karena itu, menggeser skema pembiayaan dari bentuk pinjaman berbunga menjadi partisipasi modal ke dalam bisnis debitur (syirkah), akan membuat bank Islam lebih berisiko dibandingkan bank konvennsional.

4.             Konsekuensi logis yang harus dihadapi

Menggeser bentuk DPK dari simpanan berbunga menjadi bentuk syirkah dan perubahan system pembayaran bunga ke nasabah dengan skema bagi hasil, cenderung menurunkan risiko pada bank Islam. Sebaliknya, perubahan system pendapatan tetap dari pinjamana menjadi skema bagi hasil atas laba atau debitur, berpotensi meningkatkan risiko yang dihadapi bank Islam. Secara umum besarnya risiko yang dihadapi bank Islam akan ditentukan oleh efek kedua pergeseran skema tersebut. Tingginya dinamika perubahan kondisi internal dan eksternal perbankan Islam di Indonesia, menjadi sumber risiko  tersendiri bagi bank Islam. Risiko lingkungan ini akan berdampak kepada bank Islam secara keunangan maupun nonkeuangan, langsung maupun tidak langsung. Kompleksitas usaha bank Islam dapat dilihat dari beragam jenis transaksi, produk, jasa dan jaringan usaha. Kondisi ini tentunya harus diimbangi oleh peningkatan kapabilitas bank dari sisi keuangan, infrastruktur pendukung, kemampuan sumber daya manusia, dan pengelolaan risiko yang makin presisi.[14]

Pada dasarnya, tujuan pengelolaan risiko di bank adalah untuk mencapai dua hal, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan kestabilan keuangan. Keduannya dapat dicapai dengan menjaga tingkat profitabilitas dan risiko. Sejalan dengan hal ini, dalam kaidah fikih dijelaskan bahwa bank Islam tidak boleh mengambil keuntungan tanpa menerima risiko apa pun, apalagi menghindari risiko. Bank Islam seharusnya mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya dan menerapkan pengelolaan  risiko yang sesuai dengan prinsip syari’ah. Bank Indonesia, selaku regulator perbankan Islam di Indonesia, telah mengarahkan prinsip-prinsip manajeman risiko yang harus diterapkan oleh bank Islam di Indonesia. Prinsip-prinsip ini sesuai dengan
panduan yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB) dan Basel II (dan Basel III). [15] Basel II adalah rekomendasi hukum dan ketentuan perbankan kedua, sebagai penyempurnaan Basel I, yang diterbitkan oleh Komite Basel. Rekomendasi ini ditujukan untuk menciptakan suatu standar internasional yang dapat digunakan regulator perbankan untuk membuat ketentuan berapa banyak modal yang harus disisihkan bank sebagai perlindungan terhadap risiko keuangan dan operasional yang mungkin dihadapi bank. Bank Islam yang dalam hal ini adalah sebagai regulator perbankan Islam di Indonesia, memberikan prinsip-prinsip manajeman risiko yang harus ditepakann oleh bank Islam di Indonesia. Sehingga ketika prinsip-prinsip ini diterpakan oleh bank Islam, maka dapat meminimalisir akan risiko yang dihadapi bank Islam.  

Selanjutnaya pada pembiayaan pada akad syirkah yaitu mudharabah bank islam, diizininkan untuk membebankan seluruh biaya orpeasional bisnis yang dibiayai kepada debidur . Konsekuensinya adalah bagi hasil antara bank dan debitur memungkinkan untuk didasarkan atas pendapatan bruto yaitu selisih penjualan dikurangi harga pokok penjualan. Sehingga dengan skema ini, bank Islam akan memperoleh beberapa keuntungan yaitu bagi hasil dapat dilakukan sesegera mungkin, berkurangnya risiko terjadinya manipulasi, bank islam juga dapat terhindar dari risiko ketidak efisiensi debitur dalam menjalankan bisnisnya, keutungan dan kerugian yang akan dibagihasilkan tidak perlu menunggu valuasi.    




Bank Islam memang tidak bisa lepas akan adanya risiko dalam menajalakan kegiatan usahanya, tetapi dengan adanya prinsip-prinsip manajeman risiko, akan meminimalisir atas adanya risiko tersebut. Selanjutnya tingginya dinamika dan perubahan kondisi internal dan eksternal perbankan Islam di Indonesia juga menjadi salah satu sumber risiko tersendiri bagi bank Islam. Resiko yang dialami oleh bank Islam inipun tidak hanya dari segi keuangan, tetapi juga dari segi non keuangan.

Di perbankan syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai macam risiko baik itu eksternal maupun internal yang melekat pada perusahaan. Seperti juga perbankan pada umumnya, maka bank syariah juga memerlukan prosedur dan tata kelola yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukannya.  Maka cara yang paling cepat dan efektif adalah mengadopsi system manajemen risiko bank konvensional yang disesuaikan dengan karakteristik perbankan syariah, inilah yang dilakukan BI sebagai regulator perbankan nasional yang akan menerapkan juga bagi bank syariah. Dalam hal ini Islamic Financial Services Board (IFSB) telah merumuskan prinsip-prinsip manajemen risiko bagi bank dan lembaga keuangan yang berprinsip syariah.







BAB II
KESIMPULAN

Bank Islam tidak bisa lepas dari berbagai risiko yang dihadapi dalam menjalankan kegitannya. Sehingga jika risiko ini meghampiri bank Islam hal ini akan mengakibatkan terganggunya kegiatan atau usaha yang sedang dijalankan oleh Bank Islam. Bank Islam yang memiliki fungsi yaitu salah satunya sebagai penghimpun dana, dan dalam menjalankan fungsi pengumpulan dana yang dilakukan oleh bank Islam tersbut , muncul faktor-faktor risiko yang bersala dari pengelompokan DPK. Dan faktor selanjutnya adalah serapa besar kemampuan bank Islam dalam menghasilkan laba. Yaitu salah satunya dengan cara syirkah yang berpihak pada sector ril. Dalam syrikah ini yang boleh ditetapkan diawal pada saat akad yaitu tingkat nisbah yang akan dibagi, bukan persentasenya.  Pengelolaan risiko dalam bank Islam ini mempuyai tujugan yaitu petumbuhan berkelanjutan dan kestabilan keuangan. Kedua hal ini dapat dicapai dengan cara menjaga tingkat profitabilitas dan risiko.


[1] Muchdarsyah Sinungnan, Manajemen Dana Bank, (Jakarta :Bumi Aksara, 2004) hal 79
[2] Gemala dewi, Aspek-Aspek hokum dalam Perbankan dan Perasusransian Syariah di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2006) hal. 80
[3] Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013) hal.19
[4] Gemala Dewi, Loc. cit
[5] Imam Wahyudi, Op.cit hal 20
[6] Imam wahyudi Loc.cit
[7] Gemala Dewi, Op.cit hal. 82
[8] Imam wahyudi Loc.cit
[9] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal 112

[11] Imam Wahyudi Loc.cit
[12] Imam Wahyudi, Op.cit hal 21
[13] Imam Wahyudi Loc.cit
[14] Imam Wahyudi, Op.cit hal 22
[15] Imam Wahyudi, Op.cit hal 23


0 comments:

Post a Comment

Silahkan berikan komentar atas tulisan yang sudah anda baca.
Semoga memberikan manfaat dan mendapat ilmu dari tulisan yang telah anda baca. Dan semoga memberikan inspirasi tenhadap semua. Aamiin
Terimakasih telah mengunjungi blog saya
Salam sahabat dari saya :)

dwi lestari