BAB I
PENDAHULAN
A.
Latar Belakang
Etika
bisnis dalam Islam telah dituangkan dalam hukum bisnis Islam yang biasa disebut
dengan muamalah. Aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia mempunyai aturan-aturan tertentu, sebut saja aturan dalam hal
jual beli (ba’iy), pinjam meminjam (ariyah), utang mengutang, berinvestasi
(mudharabah), kerjasama bisnis (musyarakah), menggunakan jaminan (rahn),
pengalihan utang (hiwalah) dan masih banyak jenis transaksi lainnya. Dalam makalah ini kami akan mencoba
memaparkan aturan-aturan dalam aktiviatas ekonomi dalam kerjasama bisnis atau
musyarakah.
Etika bisnis adalah tuntutan yang harus
dilaksanakan oleh pelaku bisnis dalam menegakkan konsep keseimbangan ekonomi.
Jika saja pengambilan keuntungan berlipat-lipat adalah sebuah kesepakatan
pelaku ekonomi, bukankah hal ini menjadikan supply-demand tidak seimbang, pasar
bisa terdistorsi dan seterusnya. Betapa
indahnya jika sistem bisnis yang kita lakukan dibingkai dengan nilai etika yang
tinggi.Etika itu akan membuang jauh kerugian dan ketidaknyamanan antara
pelaku bisnis dan masyarakat. Lebih dari itu, bisnis yang berdasarkan etika
akan menjadikan sistem perekonomian akan berjalan secara seimbang.
B.
Rumusan Masalah
1)
Pengertian Etika Bisnis
Islam?
2)
Sebutkan dan Jelaskan Ciri
Etika Bisnis Islam?
3)
Jelaskan Hal yang
terkait dengan Mudharabah?
C.
Tujuan
1)
Mengetahui pengertian
Etika Bisnis Islam
2)
Mengerahui Ciri Etika
Bisnis Islam
3)
Mengetahui Hal yang
terkait dengan Mudharabah
4)
BAB II
ETIKA BISNIS DALAM MUDHARABAH
A.
Pengertian Etika bisnis Islam
Etika
dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set
of principles which people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan
refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk.
Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian
kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan
lapangan etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur dan cendrung
disamakan. Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur
dan bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi
masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.
Dalam makna yang lebih tegas etika merupakan
studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah
dan sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikannya
atas apa saja.
Secara terminologis arti etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah al-Qur’an al-khuluq atau akhlak, akhlak mengandung beberapa arti, diantaranya:
Secara terminologis arti etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah al-Qur’an al-khuluq atau akhlak, akhlak mengandung beberapa arti, diantaranya:
a)
Tabiat,
yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh
manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan,
b)
Adat,
yaitu
sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yaitu berdasarkan
keinginannya, dan
c)
Watak,
yaitu
cakupannya melalui hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan
hingga menjadi adat. Kata akhlak juga berarti kesopanan atau agama.
Bisnis
merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. Sebagai bagian
dari kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan
penggunaan factor produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku
kalangan pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis
dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak
berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam ungkapan
Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis
belaka. Atas nama efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat
dikorbankan, lingkungan rusak dan karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan
etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian
ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat).
Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah
memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan
memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan,
perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan
kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran
dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan
aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan. Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar
Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa
nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga
universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa
diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya
pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti
sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak
diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau
petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga
merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh. Jika
dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah
juga bisa meminimalisir keuntungan atau malah merugikan ?. Jawabnya tergantung
bagaimana kita melihatnya.
Bisnis
yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah seperti
pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme
cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi. Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan
kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum.
Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya berorientasi pada
laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam jangka
panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih
keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih keuntungan
jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam hal ini etika
bisnis syariah.
Islam secara universal telah memberikan pedoman bagi kegiatan ekonomi
berupa prinsip-prinsip dan asas-asas dalam muamalah. Juhaya S. Praja
menyebutkan terdapat beberapa prinsip hukum ekonomi Islam antara lain:[1]
·
Prinsip la yakun dawlatan
bayn al-agniya, yakni prinsip hokum ekonomi yang menghendaki pemerataan
dalam pendistribusian harta kekayaan.
·
Prinsip antaradin,
yakni pemindahan hak kepemilikan atas harta yang dilakukan secara sukarela.
·
Prinsip tabadul
al-manafi’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan kepasa azas
manfaat.
·
Prinsip takaful
al-ijtima’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan kepada
kepentingan solidaritas sosial.
·
Prinsip haq al-lah wa hal
al-adami, yakni hak pengelolaan harta kekayaan yang didasarkan kepada
kepentingan milik bersama, di mana individu maupun kelompok dapat saling
berbagi keuntungan serta diatur dalam suatu mekanisme ketatanegaraan di bidang
kebijakan ekonomi.
Di samping prinsip-prinsip tersebut, dalam sistem
ekonomi Islam dijelaskan pula berbagai ketentuan yang terangkum dalam azas-azas
muamalah. Ahmad Azhar Basyir telah menjelaskan tentang azas-azas muamalah dalam
hukum ekonomi Islam antara lain:[2]
·
Asas kehormatan manusia (QS 17:
70).
·
Azas kekeluargaan dan kemanusiaan
(QS 49: 13).
·
Azas gotong-royong dalam kebaikan
(QS 5: 2).
·
Azas keadilan, kelayakan dan
kebaikan (QS 16: 90).
·
Azas menarik manfaat dan
menghindari madharat (QS 2: 282).
·
Azas kebebasan dan kehendak (QS
2: 30).
·
Azas kesukarelaan (QS 4: 39)
B.
Ciri Etika Bisnis Islam
Bisnis
Islam merupakan
implementasi/perwujudan dari aturan syari’at Allah. Bisnis islam selain mengusahakan bisnis pada umumnya, juga
menjalankan syariat dan perintah Allah dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan
antara bisnis Islam
dan yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui ciri dan karakter dari
bisnis Islam yang
memiliki ciri tersendiri. Beberapa ciri
itu antara lain:
1)
Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah.
Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia
akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak
dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga
aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek
a.
Konsep
b.
Sistem yang di berlakukan
c.
Pelaku (personil).
2)
Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram.
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut
mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang
Sahih dan yang salah. Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang
dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).
3)
Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi.
Intinya pada masalah ini adalah ada
kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di
terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara
material
4)
Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat.
Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat
keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam.
Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah
madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan,
memang berupa harta.
5)
Kebahagiaan abadi di yaumil akhir.
Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan
hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. kebahagiaan
abadi di yaumil akhir. Oleh
karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya
itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu
terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada
aturan-Nya yaitu syariah Islam.
Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha
muslim, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas bisnis duniawi dengan
ukhrowi, sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat.
Akhirnya, jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang lebih
tinggi lagi.
C.
Mudharabah
1)
Pengertian Mudharabah
Dalam literatur fikih, terdapat dua istilah yang menunjukan pengertian
mudharabah. Yang pertama istilah
mudharabah itu sendiri dan yang
kedua
istilah Qiradh. Namun pengertian
keduanya adalah sama saja. Istilah
mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan kebanyakan digunakan oleh
mazhab Hanafi, Hanbali dan Zaydi dan
Qiradh adalah bahasa istilah yang
digunakan penduduk Hijaz dan kebanyakan digunakan oleh mazhab Maliki
dan Syafi’i. Mudharabah berasal dari kata
dharb, yang berarti secara
harfiah
adalah bepergian atau berjalan. Dari beberapa kata ini lah yang kemudian mengilhami konsep mudharabah.[3]
Mudharabah
berasal dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al ardh, yaitu
bepergian untuk urusan dagang. Abdurrahman al-Jaziri mengatakan, Mudharabah
menurut bahasa berarti ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang
lain sebagai modal usaha di mana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara
mereka berdua, dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal. Sedangkan menurut istilah syara’, Mudharabah
merupakan akad antara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan
dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal usaha
dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati bersama. Secara terminologi, para ulama fiqh
mendefinisikan Mudharabah atau qirad dengan: Pemilik modal
menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan oleh
pemilik modal, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi
menurut kesepakatan bersama.[4]
Istilah mudharabah
diambil dari kata dharib,
Dinamakan demikian
karena dharib berhak untuk menerima bagian
keuntungan atas dukungan dan
kerjanya. Secara rinci mudharabah
adalah suatu kontrak kemitraan (
partnership) yang berlandaskan pada prinsip pembagian
hasil dengan cara
seseorang memberikan modalnya kepada yang lain
untuk melakukan bisnis
dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau
memikul beban kerugian
berdasarkan isi perjanjian bersama.[5]
Secara
teknis, al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh
kelalaian si pengelola. Namun, apabila kerugian itu disebabkan kecurangan atau
kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut. Secara muamalah,
pemilik modal (shohibul maal)menyerahkan modalnya kepada pedagang/pengusaha
(mudaharib) untuk digunakan dalam aktivitas.
2) Hukum Mudharabah dan dasar hukumnya
Mudharabah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik
modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik
modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara
banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk
berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam
memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan
seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu. Alasan
yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini
adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 …dan sebagian mereka
berjalan di buki mencari karunia Allah… Dan surat al-Baqarah, 2: 198. Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…
Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang
secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian
sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang
dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya: Tuhan kami ‘Abbas
ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar
dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta
itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah,
dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat
bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal
dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd
al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR
ath-Thabrani).
3)
Rukun dan Syarat mudharabah
Terdapat
perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad
mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan bahwa rukun mudharabah
adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur
ulama ada tiga, yaitu :[6]
a)
Pihak yang berakad: yaitu shahibul mal ( investor ) dan al-mudhorib (pengelola ).
b)
Obyek akad, hal ini terdiri
dari ra’sul mal ( capital
), al-‘amal ( usaha
bisnis ), ar-robh ( profit ) dan
al-waqt ( masa).
c)
As-Shighoh ( Ijab qobul ) atau
Momerandum of Undrstanding ( MoU)
d)
Nisbah keuntungan.
Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai
dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a) Yang terkait dengan orang yang melakukan akad,
Harus orang yang mengerti hukum
dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan
mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat –
syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b) Yang terkait dengan modal, disyaratkan:
·
berbentuk uang
·
jelas jumlahnya
·
tunai,
·
diserahkan sepenuhnya kepada
pedagang/pengelola modal.
Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang,
menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan
keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh dijadikan modal
mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal
pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap
dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan
seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah
tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal
itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menganggu kelancaran usaha itu.
c) Yang terkait dengan keuntungan
Disyaratkan bahwa pembagian
keuntungan harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan
dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian
keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak).
Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian
ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan
kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
4)
Jenis-Jenis Mudharabah
a)
Mudharabah
Mutlaqah
Merupakan
akad perjanjian antara dua pihak yaitu shahibul maal dan mudharib, yang mana
shahibul maal menyerahkan sepenuhnya atas dana yang diinvestasikan kepada mudharib
untuk mengelola usahanya sesuai dengan prinsip syariah. Shahibul maal tidak
memberikan batasan jenis usaha, waktu yang diperlukan, strategi pemasarannya,
serta wilayah bisnis yang dilakukan. Shahibul maal memberikan kewenangan yang
sangat besar kepada mudharib untuk menjalakan aktivitas usahanya, asalakan
sesuai prinsip syariah Islam.[7]
Mudharabah Muthalaqah adalah akad mudharabah dimana shahibul maal memberikan kebebasan kepada pengelola dana
(mudharib) dalam pengelolaan investasinya.
b) Mudharabah Muqayyadah
Merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak
pertama sebagai pemilik dana ( shahibul maal) dan pihak kedua sebagai pengelola
dana ( mudharib). Shahibul maal menginvestasikan dananya kepada mudharib, dan
memberi batasan atas penggunaan dana yang diinvestasikannya. Batasan anatara
lain tentang :
·
Tempat
dan cara berinvestasi
·
Jenis
investasi
·
Objek
investasi
·
Jangka
waktu
5) Akad dalam melakukan Mudharabah
Dalam
setiap transaksi islami, akan memegang peranan yang sangat penting. Akad
ibaratnya sebuah dinding yang sangat tipis dan dengannya terpisah antara yang
sah dan tidak. Secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak
arti, yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan
terhadap dua hal. Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan
diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen
tertentu yang disyariatkan. Terkadang kata akad dalam istilah dipergunakan
dalam pe-ngertian umum, yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi diri-nya
sendiri atau bagi orang lain dengan kata harus. Di antaranya adalah firman
Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad kalian.” Jual beli
dan sejenisnya adalah akad atau perjanjian dan kesepakatan. Setiap hal yang
diharuskan seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan
sejenisnya, disebut sebagai akad.
6)
Hikmah Mudharabah
Sebagian
orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan untuk memproduktifitaskannya.
Terkadang pula ada orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai
kemampuan memproduktifitaskannya, oleh karena itu syariat membolehkan muamalah
ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya. Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan
pengalaman mudharib (orang yang diberi modal), sedangkan mudharib dapat
memperoleh manfaat dengan harta (sebagai modal) dengan demikian tercipta
kerjasama antara pemilik modal dan mudharib. Allah tidak menetapkan segala
bentuk akad, melainkan demi terciptanya kemaslahatan dan terbendungnya
kesulitan. Adapun hikmah dari
Mudharabah yang dikehendaki adalah mengangkat kehinaan, kefakiran dan
kemiskinan masyarakat juga mewujudkan rasa cinta kasih dan saling menyayangi
antar sesama manusia. Seorang yang berharta mau bergabung dengan orang yang pandai memperdagangkan harta dari harta yang
dipinjami oleh orang kaya tersebut.
D.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Etika bisnis Islam merupakan perangkat aturan berbisnis
dalam etika Islam dengan berlandaskan syariah
Al-Quran dan Hadis yang diimplementasikan dalam aktivitas berbisnis
dalam realitas yang ada.
Ciri etika bisnis Islam antara lain:
1.
Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah.
2.
Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram.
3.
Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi.
4.
Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat.
5.
Kebahagiaan abadi di yaumil akhir.
Dalam melakukan bisnis mudharabah yang terkait dengan
etika bisnis Islam antara lain harus memperhatikan nilai-nilai ruhiyah dalam
setiap tindakan dan aktivitas mudharabah yang dilakukan, selain itu, bisnis
yang dikerjakan harus tertumpu pada hal-hal yang halal saja, dan
mengimplementasikan dalam pelaksanaan nyata dengan benar berlandaskan syariah
Islam dan berorientasi pada dunia dan akhirat.
[1]
Juhaya S. Praja, Orasi
Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Madya Filsafat Hukum Islam tentang Rekosntruksi Paradigma Ilmu: Titik Tolak Pengembangan Ilmu Agama dan
Universalitas Hukum Islam pada tanggal 1 April 2000 di IAIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
[2]
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman (Bandung: Mizan, 1994) hal.
190-191.
[3]
Abdullah Saeed, Bank Islam Dan Bunga Studi Kritis Dan Interpretasi Kontemporer tentang
Riba dan Bunga, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 91
[5]
Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam.
Jilid IV. ( Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf,
1995
), hlm 380
[6]
Ahmad Sumiyanto, Problem dan Solusi
Transaksi Mudhorobah. ( Yogyakarta:
Magistra Insania
Press, 2005 ), hlm. 3
No comments:
Post a Comment
Silahkan berikan komentar atas tulisan yang sudah anda baca.
Semoga memberikan manfaat dan mendapat ilmu dari tulisan yang telah anda baca. Dan semoga memberikan inspirasi tenhadap semua. Aamiin
Terimakasih telah mengunjungi blog saya
Salam sahabat dari saya :)
dwi lestari