Thursday, 12 September 2013

Mudharabah ditinjau dari etika bisnis islam



BAB I
PENDAHULAN
A.     Latar Belakang

Etika bisnis dalam Islam telah dituangkan dalam hukum bisnis Islam yang biasa disebut dengan muamalah. Aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia mempunyai aturan-aturan tertentu, sebut saja aturan dalam hal jual beli (ba’iy), pinjam meminjam (ariyah), utang mengutang, berinvestasi (mudharabah), kerjasama bisnis (musyarakah), menggunakan jaminan (rahn), pengalihan utang (hiwalah) dan masih banyak jenis transaksi lainnya. Dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan aturan-aturan dalam aktiviatas ekonomi dalam kerjasama bisnis atau musyarakah.
Etika bisnis adalah tuntutan yang harus dilaksanakan oleh pelaku bisnis dalam menegakkan konsep keseimbangan ekonomi. Jika saja pengambilan keuntungan berlipat-lipat adalah sebuah kesepakatan pelaku ekonomi, bukankah hal ini menjadikan supply-demand tidak seimbang, pasar bisa terdistorsi dan seterusnya. Betapa indahnya jika sistem bisnis yang kita lakukan dibingkai dengan nilai etika yang tinggi.Etika itu akan membuang jauh kerugian dan ketidaknyamanan  antara pelaku bisnis dan masyarakat. Lebih dari itu, bisnis yang berdasarkan etika akan menjadikan sistem perekonomian akan berjalan secara seimbang.

B.     Rumusan Masalah

1)             Pengertian Etika Bisnis Islam?
2)             Sebutkan dan Jelaskan Ciri Etika Bisnis Islam?
3)             Jelaskan Hal yang terkait dengan Mudharabah?

C.       Tujuan
1)             Mengetahui pengertian Etika Bisnis Islam
2)             Mengerahui Ciri Etika Bisnis Islam
3)             Mengetahui Hal yang terkait dengan Mudharabah



4)              
BAB II
ETIKA BISNIS DALAM MUDHARABAH

A.     Pengertian Etika bisnis Islam

Etika dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of principles which people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan lapangan etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur dan cendrung disamakan. Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur dan bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.

Dalam makna yang lebih tegas etika merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah dan sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikannya atas apa saja.
Secara terminologis arti etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah al-Qur’an al-khuluq atau akhlak, akhlak mengandung beberapa arti, diantaranya:
a)    Tabiat,
 yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan,
b)   Adat,
yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yaitu berdasarkan keinginannya, dan
c)    Watak,
yaitu cakupannya melalui hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan hingga menjadi adat. Kata akhlak juga berarti kesopanan atau agama.

Bisnis merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan penggunaan factor produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak dan karakter budaya dan agama tercampakkan.

Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan. Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir keuntungan atau malah merugikan ?. Jawabnya tergantung bagaimana kita melihatnya.

Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi. Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam hal ini etika bisnis syariah.

 Islam secara universal telah memberikan pedoman bagi kegiatan ekonomi berupa prinsip-prinsip dan asas-asas dalam muamalah. Juhaya S. Praja menyebutkan terdapat beberapa prinsip hukum ekonomi Islam antara lain:[1]
·                Prinsip la yakun dawlatan bayn al-agniya, yakni prinsip hokum ekonomi yang menghendaki pemerataan dalam pendistribusian harta kekayaan.
·                Prinsip antaradin, yakni pemindahan hak kepemilikan atas harta yang dilakukan secara sukarela.
·                Prinsip tabadul al-manafi’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan kepasa azas manfaat.
·                Prinsip takaful al-ijtima’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan kepada kepentingan solidaritas sosial.
·                Prinsip haq al-lah wa hal al-adami, yakni hak pengelolaan harta kekayaan yang didasarkan kepada kepentingan milik bersama, di mana individu maupun kelompok dapat saling berbagi keuntungan serta diatur dalam suatu mekanisme ketatanegaraan di bidang kebijakan ekonomi.
Di samping prinsip-prinsip tersebut, dalam sistem ekonomi Islam dijelaskan pula berbagai ketentuan yang terangkum dalam azas-azas muamalah. Ahmad Azhar Basyir telah menjelaskan tentang azas-azas muamalah dalam hukum ekonomi Islam antara lain:[2]
·                Asas kehormatan manusia (QS 17: 70).
·                Azas kekeluargaan dan kemanusiaan (QS 49: 13).
·                Azas gotong-royong dalam kebaikan (QS 5: 2).
·                Azas keadilan, kelayakan dan kebaikan (QS 16: 90).
·                Azas menarik manfaat dan menghindari madharat (QS 2: 282).
·                Azas kebebasan dan kehendak (QS 2: 30).
·                Azas kesukarelaan (QS 4: 39)

B.     Ciri Etika Bisnis Islam

Bisnis Islam merupakan implementasi/perwujudan dari aturan syari’at Allah. Bisnis islam selain mengusahakan bisnis pada umumnya, juga menjalankan syariat dan perintah Allah dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan antara bisnis Islam dan yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui ciri dan karakter dari bisnis Islam yang memiliki  ciri tersendiri. Beberapa ciri itu antara lain:

1)             Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah.
Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek
a.             Konsep
b.             Sistem yang di berlakukan
c.             Pelaku (personil).

2)             Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram.
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).

3)             Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi.
Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material



4)             Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat.
Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.

5)             Kebahagiaan abadi di yaumil akhir.
Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas bisnis duniawi dengan ukhrowi, sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat. Akhirnya, jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang lebih tinggi lagi.

C.            Mudharabah

1)   Pengertian Mudharabah

Dalam literatur fikih, terdapat dua istilah yang menunjukan pengertian
mudharabah. Yang pertama istilah  mudharabah  itu sendiri dan yang kedua
istilah  Qiradh. Namun pengertian keduanya adalah sama saja. Istilah
mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan kebanyakan digunakan oleh
mazhab Hanafi, Hanbali dan Zaydi dan  Qiradh adalah bahasa istilah yang
digunakan penduduk Hijaz dan kebanyakan digunakan oleh mazhab Maliki
dan Syafi’i. Mudharabah berasal dari kata  dharb,  yang berarti secara harfiah
adalah bepergian atau berjalan. Dari beberapa kata ini lah yang kemudian  mengilhami konsep  mudharabah.[3]

Mudharabah berasal dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al ardh, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Abdurrahman al-Jaziri mengatakan, Mudharabah menurut bahasa berarti ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain sebagai modal usaha di mana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara mereka berdua, dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal. Sedangkan menurut istilah syara’, Mudharabah merupakan akad antara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan Mudharabah atau qirad dengan: Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan oleh pemilik modal, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.[4]
         
Istilah  mudharabah  diambil dari kata  dharib, Dinamakan demikian
karena dharib berhak untuk menerima bagian keuntungan atas dukungan dan
kerjanya. Secara rinci  mudharabah  adalah suatu kontrak kemitraan  (
partnership) yang berlandaskan pada prinsip pembagian hasil  dengan cara
seseorang memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis
dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian 
berdasarkan isi perjanjian bersama.[5]

Secara teknis, al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh kelalaian si pengelola. Namun, apabila kerugian itu disebabkan kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Secara muamalah, pemilik modal (shohibul maal)menyerahkan modalnya kepada pedagang/pengusaha (mudaharib) untuk digunakan dalam aktivitas.

2)   Hukum Mudharabah dan dasar hukumnya

Mudharabah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu. Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 …dan sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah… Dan surat al-Baqarah, 2: 198. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…

Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya: Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR ath-Thabrani).

3)   Rukun dan Syarat mudharabah

Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan  bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :[6]
a)             Pihak yang berakad: yaitu  shahibul mal ( investor ) dan  al-mudhorib (pengelola ).
b)             Obyek akad, hal ini terdiri dari  ra’sul mal (  capital  ),  al-‘amal ( usaha
bisnis ), ar-robh ( profit ) dan al-waqt ( masa).
c)             As-Shighoh ( Ijab qobul ) atau Momerandum of Undrstanding ( MoU)
d)             Nisbah keuntungan.

Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:

a)    Yang terkait dengan orang yang melakukan akad,
Harus orang yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.

b)   Yang terkait dengan modal, disyaratkan:
·      berbentuk uang
·      jelas jumlahnya
·      tunai,
·      diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal.
Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menganggu kelancaran usaha itu.

c)    Yang terkait dengan keuntungan
Disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.

4)   Jenis-Jenis Mudharabah

a)    Mudharabah Mutlaqah

Merupakan akad perjanjian antara dua pihak yaitu shahibul maal dan mudharib, yang mana shahibul maal menyerahkan sepenuhnya atas dana yang diinvestasikan kepada mudharib untuk mengelola usahanya sesuai dengan prinsip syariah. Shahibul maal tidak memberikan batasan jenis usaha, waktu yang diperlukan, strategi pemasarannya, serta wilayah bisnis yang dilakukan. Shahibul maal memberikan kewenangan yang sangat besar kepada mudharib untuk menjalakan aktivitas usahanya, asalakan sesuai prinsip syariah Islam.[7] Mudharabah Muthalaqah adalah akad mudharabah dimana shahibul maal  memberikan kebebasan kepada pengelola dana (mudharib) dalam pengelolaan investasinya.

b)   Mudharabah Muqayyadah

Merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak pertama sebagai pemilik dana ( shahibul maal) dan pihak kedua sebagai pengelola dana ( mudharib). Shahibul maal menginvestasikan dananya kepada mudharib, dan memberi batasan atas penggunaan dana yang diinvestasikannya. Batasan anatara lain tentang :
·      Tempat dan cara berinvestasi
·      Jenis investasi
·      Objek investasi
·      Jangka waktu

5)   Akad dalam melakukan Mudharabah

Dalam setiap transaksi islami, akan memegang peranan yang sangat penting. Akad ibaratnya sebuah dinding yang sangat tipis dan dengannya terpisah antara yang sah dan tidak. Secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan. Terkadang kata akad dalam istilah dipergunakan dalam pe-ngertian umum, yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi diri-nya sendiri atau bagi orang lain dengan kata harus. Di antaranya adalah firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad kalian.” Jual beli dan sejenisnya adalah akad atau perjanjian dan kesepakatan. Setiap hal yang diharuskan seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan sejenisnya, disebut sebagai akad.

6)   Hikmah Mudharabah

Sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan untuk memproduktifitaskannya. Terkadang pula ada orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifitaskannya, oleh karena itu syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya. Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan pengalaman mudharib (orang yang diberi modal), sedangkan mudharib dapat memperoleh manfaat dengan harta (sebagai modal) dengan demikian tercipta kerjasama antara pemilik modal dan mudharib. Allah tidak menetapkan segala bentuk akad, melainkan demi terciptanya kemaslahatan dan terbendungnya kesulitan. Adapun hikmah dari Mudharabah yang dikehendaki adalah mengangkat kehinaan, kefakiran dan kemiskinan masyarakat juga mewujudkan rasa cinta kasih dan saling menyayangi antar sesama manusia. Seorang yang berharta mau bergabung dengan orang yang pandai memperdagangkan harta dari harta yang dipinjami oleh orang kaya tersebut.



D.             
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Etika bisnis Islam merupakan perangkat aturan berbisnis dalam etika Islam dengan berlandaskan syariah  Al-Quran dan Hadis yang diimplementasikan dalam aktivitas berbisnis dalam realitas yang ada.

Ciri etika bisnis Islam antara lain:
             1.          Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah.
             2.          Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram.
             3.          Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi.
             4.          Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat.
             5.          Kebahagiaan abadi di yaumil akhir.

Dalam melakukan bisnis mudharabah yang terkait dengan etika bisnis Islam antara lain harus memperhatikan nilai-nilai ruhiyah dalam setiap tindakan dan aktivitas mudharabah yang dilakukan, selain itu, bisnis yang dikerjakan harus tertumpu pada hal-hal yang halal saja, dan mengimplementasikan dalam pelaksanaan nyata dengan benar berlandaskan syariah Islam dan berorientasi pada dunia dan akhirat.








[1] Juhaya S. Praja, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Madya Filsafat Hukum Islam tentang Rekosntruksi Paradigma Ilmu: Titik Tolak Pengembangan Ilmu Agama dan Universalitas Hukum Islam pada tanggal 1 April 2000 di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
[2] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman (Bandung: Mizan, 1994) hal. 190-191.
[3] Abdullah Saeed,  Bank Islam Dan Bunga Studi Kritis Dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 91
[4] Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1984), hal. 837
[5] Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid IV. ( Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf,
1995 ), hlm 380
[6] Ahmad Sumiyanto, Problem dan Solusi Transaksi Mudhorobah. ( Yogyakarta: Magistra  Insania Press, 2005 ), hlm. 3
[7] Drs. Ismail, MBA., Ak. Perbankan Syariah, Kencana, 2011, hal 86

No comments:

Post a Comment

Silahkan berikan komentar atas tulisan yang sudah anda baca.
Semoga memberikan manfaat dan mendapat ilmu dari tulisan yang telah anda baca. Dan semoga memberikan inspirasi tenhadap semua. Aamiin
Terimakasih telah mengunjungi blog saya
Salam sahabat dari saya :)

dwi lestari